Spanyol: Antara Krisis, Real Madrid, dan Generasi Ni-Ni


Setelah AS, Inggris, dan beberapa negara Eropa, kini Spanyol yang terbuka dalam arus besar krisis finansial global. Namun, tidak seperti di negara-negara lainnya, krisis di Spanyol menyisakan ironi besar yang masih terus berjalan di pertengahan tahun ini.

Spanyol hari ini ini adalah gambaran bisnis yang perlahan-lahan ditinggalkan oleh pemerintahnya sendiri, dan lulusan universitas tanpa prospek masa depan yang jelas. Turisme, industri paling besar kedua Spanyol setelah perbankan, saat ini menyusut sampai 12%. Akibatnya, perhotelan yang selama ini juga menjadi asset Spanyol perlahan-lahan mulai tutup buku.

Global Economic Crisis bahkan memprediksikan Spanyol kemungkinan besar Spanyol bisa jatuh seperti halnya Islandia. Data ekonomi makro yang baru saja dirilis adalah sebuah gambaran nyata tentangnya. Pada Desember 2008, industry Spanyol sudah susut ke angka 19,6%. Hanya dalam jangka satu bulan, seperlima bangsa Spanyol telah kehilangan pekerjaannya. Angka pengangguran di Spanyol saat ini mencapai 14,4%. Kebangkrutan berturut-turut menimpa berbagai perusahaan Spanyol.

Namun, krisis ekonomi Spanyol bukan urusan Real Madrid. Klub sepakbola yang berbasis di ibukota ini musim panas ini berbelanja pemain dengan harga gila-gilaan yang dianggap oleh sebagian besar sebagai suatu sikap yang tak punya empati terhadap penderitaan rakyat—yang dalam hal ini hanya bisa ditandingi oleh kegilaan seorang pengusaha Arab yang membeli klub sepakbola Manchester City di Inggris.

Seperti kita tahu, musim baru sepakbola di Eropa akan segera dimulai. Karenca paceklik gelar selama satu tahun yang lewat, Madrid mengeluarkan ceknya dalam jumlah yang tak ketulungan. Pertama, Madrid membeli Kaka dari AC Milan dengan harga sekitar 60 juta pound. Berikutnya, Merengues—sebutan Madrid—melanjutkan belanjanya dengan menggelontorkan 80 juta poundsterling untuk Cristiano Ronaldo dan 35 juta lainnya saat memboyong Karim Benzema. Total untuk ketiga pemain ini Madrid telah menggelontorkan dana sebesar tak kurang dari Rp 2 trilyun hanya dalam waktu sebulan.

Belanja Madrid tampaknya belum akan selesai, karena mereka masih mengincar beberapa pesepakbola sohor lainnya seperti Alvaro Arbeloa dan Xabi Alonso. Presiden UEFA, Michel Platini bahkan menyebut apa yang dilakukan ‘Si Putih’ sebagai tindakan yang mencederai sportivitas. Agaknya, kehadiran presiden baru Madrid, Florentino Perez, menjadi salah satu penyebabnya. Perez mungkin gelap mata dengan keiriannya yang melihat fakta bahwa Barcelona, musuh bebuyutan Madrid, mendapatkan tiga gelar bergengsi musim lalu, sementara Madrid, zero tituli alias nol gelar.

Sementara itu, generasi muda Spanyol—terutama di Madrid sebagai ibukota—menukik pada satu arah. Setelah mereka lulus dari universitas, akhirnya mereka kembali ke rumah orang tuanya. Di Eropa, anak yang telah berumur 18 tahun lebih masih tinggal dengan orang tuanya merupakan aib. Namun inilah kenyataan yang terjadi .

Mereka yang sudah berusia 20 tahun lebih itu, akhirnya mendekam di rumah, karena pekerjaan yang tak kunjung mereka dapatkan. Karena tak bekerja, mereka juga tak bisa membayar sewa rumah, membeli makanan, dan bahkan yang paling buruk, mereka masih dibiayai oleh orang tuanya. Inilah yang disebut dengan geneasi Ni-Ni.

Sementara setiap pekan, mereka berhasrat besar untuk menonton pertandingan sepak bola yang harga karcisnya saja untuk satu kali pertandingan juga tidaklah murah. Krisis dan sepakbola memang menjadi dua hal yang berseberangan di Spanyol, terutama karena nafsu besar Perez yang menakhodai Real Madrid. (sa/gec/emvb/speigel)