Situasi Tak Aman, Anak-Anak Irak Dikurung di Dalam Rumah

Invasi AS ke Irak membuat Negeri 1001 malam itu tak henti dirundung aksi-aksi kekerasan, yang membuat kehidupan warganya menjadi tidak nyaman dan aman. Tak terkecuali anak-anak Irak, mereka kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan menikmati masa kanak-kanak dengan normal.

Anak-anak Irak itu seperti hidup dalam penjara, karena para orang tua tidak lagi mengizinkan putera-puterinya bebas bermain di luar rumah, khawatir anak-anak mereka menjadi korban kekerasan. Data PBB menyebutkan, lebih dari 110 anak terbunuh dan 95 orang luka-luka dalam aksi serangan ke sekolah-sekolah yang terjadi sejak tahun 2005.

Jumlah itu belum termasuk anak-anak yang tewas atau luka-luka akibat berbagao peristiwa yang terjadi saat mereka dalam perjalanan ke sekolah. Akibatnya, banyak anak-anak Irak yang kini tidak lagi bersekolah karena situasi keamanan yang tidak menentu. Jumlahnya, menurut laporan tahun 2007 lembaga swadaya masyarakat Save the Children, mencapai 818.000 anak atau sekitar 22 persen dari jumlah anak usia sekolah dasar di seluruh Irak.

Dina Abdul Rahman adalah salah seorang anak Irak yang sekarang cuma bisa mengenang masa-masa indah dengan teman-teman sekelasnya. "Saya rindu saat-saat ketika saya masih bisa bersekolah dan bermain dengan teman-teman, " kata Dina, 9, yang ditemui saat sedang bermain di rumahnya.

Sudah setahun ini Dina tidak sekolah. Orang tua Dina melarang semua anak-anaknya bersekolah setelah peristiwa tragis yang menimpa saudara lelakinya. Kakaknya yang berusia 10 tahun tewas dalam aksi kekerasan di dekat rumahnya di Baghdad. Sejak itu Dina tidak pernah pergi jauh dari pintu rumahnya, orang tuanya bahkan membatasi Dina bermain dengan teman-temannya di luar rumah.

"Sejak kakak laki-laki saya terbunuh, ayah ibu saya tidak mengizinkan kami keluar rumah jika tidak bersama mereka. Padahal saya ingin sekali bermain dengan teman-teman, saling bertukar boneka dan berkunjung ke rumah mereka. Ibu berusaha bermain dengan saya, tapi rasanya tidak sama. Kadang situasi ini membuat saya sedih sampai saya merasa ingin mati saja, " tutur Dina muram.

Ibu Dina sebenarnya juga sedih melihat puterinya selalu memandang ke luar dari jendela, seolah ingin mengintip apa yang telah terjadi di luar sana. Tapi ibu Dina masih trauma akibat kehilangan anaknya. "Saya tidak mau kehilangan anak saya lagi, " ujarnya dengan suara tersendat.

"Saya tahu, kadang anak saya sedih dan meminta sedikit kebebasan. Orang mungkin akan berkata apa yang saya lakukan akan berpengaruh pada perkembangan mental mereka. Tapi saya pikir, hal itu bisa diperbaiki di masa depan daripada saya kehilangan anak saya lagi, " sambung ibunda Dina.

"Mereka akan tetap di dalam rumah, sampai situasi keamanan benar-benar pulih, " tukasnya tegas.

Banyak anak-anak Irak yang bernasib sama seperti Dina. Mereka rindu ingin sekolah, merasakan hangatnya sinar matahari dan desir angin di luar rumah. Tapi mereka tidak diizinkan ke luar rumah. "Ibu tidak mengizinkan saya keluar… ketika ia mengatakan hal itu, ia menangis. Ini merupakan saat yang sulit buat saya, " kata Hayder Issan, 11 tahun.

Para pakar mengatakan, keluarga yang mengalami trauma karena salah seorang anak mereka menjadi korban kekerasan, tidak mempedulikan tekanan psikologis yang dialami anak-anak karena dikurung di dalam rumah dalam jangka waktu yang cukup lama.

"Jika seorang anak sejak lahir sudah terbiasa di kurung di dalam rumah, mereka mungkin tidak akan merasakan perbedaan situasi yang besar. Tapi buat anak-anak yang awalnya menjalani kehidupan normal, kemudian harus berdiam diri di rumah saja, mereka akan kaget dengan situasi baru itu dan bisa menyebabkan gangguan mental selama sisa hidupnya, " papar Dr. Fu’ad Aziz, seorang psikolog di Baghdad.

Ia menceritakan sebuah kasus seorang anak yang mengalami trauma berat hingga melakukan upaya bunuh diri. Setelah menjalani perawatan yang panjang, baru bisa diketahui penyebabnya bahwa anak tersebut terlalu lama dikurung di dalam rumah.

"Anak ini menderita depresi yang sangat dalam dan sampai sekarang masih menjalani perawatan psikologis dan pengobatan, " kata Dr. Aziz.

Ia mengkritik orang tua yang terlalu berlebihan melindungi anak-anaknya sampai melarang mereka pergi sekolah. "Saat ini, sekolah menjadi satu-satunya tempat di Irak di mana mereka bisa mendapatkan kebebasan mereka, " tukasnya. (ln/iol)