Pemuka masyarakat dan para akademisi Yahudi-Amerika mengakui adanya kecenderungan yang makin kuat di Eropa dan AS, untuk mengecam dan tidak mengakui eksistensi negara Israel sebagai negara Yahudi.
Mereka menyatakan, kecaman-kecaman bernuansa anti-Israel bahkan sudah mulai mempengaruhi mereka yang selama ini mendukung Israel. Para pendukung Israel itu dituding hanya bisa diam dalam perdebatan-perdebatan publik tentang Israel.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bagi para pemuka masyarakat Yahudi dan kalangan akademisi Yahudi-Amerika. Untuk itu, mereka akan menjadikan isu ini sebagai isu penting yang akan dibahas dalam konferensi bertema masa depan masyarakat Yahudi. Konferensi ini dibuka pada hari Selasa (10/7), bertempat di Yerusalem. Konferensi yang diselenggarakan oleh Jewish People Policy Planning Institute (JPPPI) itu, akan dihadiri oleh para peneliti, ketua-ketua organisasi Yahudi dan para politisi Israel.
Menurut Direktur Jenderal JPPPI Avinoam Bar-Yosef, kecaman-kecaman bernuansa anti-Israel di AS menjadi "ancaman jangka panjang" bagi eksistensi Israel, organisasi Yahudi-Amerika dan kelompok lobi pro-Israel.
"Perhatian publik saat ini sedang terfokus pada Eropa, akibat adanya inisiatif seperti aksi boikot yang dilancarkan kalangan akademisi Inggris, " kata Bar-Yosef.
Ia menambahkan, kalau di AS, gerakan-gerakan semacam itu masih bisa terdeteksi. "Tapi sebagai lembaga perencanaan, kami yakin bahwa saat ini sangat penting untuk memformulasikan kebijakan atas isu-isu semacam ini, " sambungnya.
Namun Presiden Brandeis University, Jehuda Reinharz pada surat kabar terbitan Israel Haaretz menyatakan, justru kalangan akademisi di AS yang paling terdepan menolak eksistensi Israel sebagai negara Yahudi. Di antaranya adalah Tony Judt dan Noam Chomsky. Pada tahun 2006 lalu, kedua tokoh itu, bersama Stephen Walt dan John Mearsheimer-tokoh akademisi terkemuka di AS-menuding lembaga American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) sudah mendikte kebijakan luar negeri AS.
Reinharz mengatakan, artikel mengguncangkan yang ditulis oleh Walt dan Mearsheimer itu bahkan akan dibuat buku dan rencananya akan diterbitkan pada bulan September. Menurut Reinharz, penerbitnya sudah melakukan pembayaran di muka-diduga besarnya mencapai ratusan ribu dollar-karena mereka menilai isu ini bakal memanas.
Buku lainnya yang berisi kecaman terhadap Israel adalah buku yang ditulis mantan presiden AS, Jimmy Carter berjudul "Palestine: Peace Not Apartheid" yang diterbitkan bulan November 2006. Menurut Direktur Nasional Liga Anti-Penistaan, Abraham Foxman, buku itu menimbulkan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan artikel atau buku-buku lain yang pernah diterbitkan.
"Di masa lalu, orang yang mengatakan bahwa Yahudi yang mendukung Israel telah mengendalikan media dan politik, adalah orang-orang yang terpinggirkan. Tapi setelah mantan presiden Carter juga menyatakan hal itu, pernyataan semacam itu mendapatkan legitimasi di tengah masyarakat umum, " ujar Foxman.
Ia menambahkan, saat ini, orang Yahudi yang melawan pernyataan-pernyataan anti-Israel akan dituding melanggar kebebasan berekspresi.
Sementara itu, Reinharz mengaku khawatir dengan kurangnya respon yang efektif terhadap pernyataan-pernyataan atau terbitnya artikel dan buku-buku anti-Israel. (ln/Haaretz)