Pemerintah Inggris dilaporkan telah memutuskan untuk mengambil alih fasilitas minyak Libya sehubungan rencana British Petroleum yang mengumumkan rencana untuk melanjutkan operasi di negara kaya minyak Afrika Utara itu.
Ketika para pejuang oposisi Libya mengambil alih Tripoli, ibukota Libya, negara-negara adidaya di dunia sudah bersiap-siap pula mengambil alih hegemoni atas negara Afrika itu dengan mengamankan kontrak. Mereka menggunakan dalih membangun kembali Libya sehingga perekonomian negara itu, sebagaimana pula negara-negara Timur Tengah yang bergolak dan kemudian meletus dalam reformasi, akan sangat tergantung pada kekuatan hegemonik.
Sebelum awal revolusi di Libya pada bulan Februari, Libya menghasilkan sekitar 1,6 juta barel per hari. Libya merupakan negara produsen minyak terbesar ketujuh belas di dunia dan terbesar ketiga di Afrika.
Namun, setelah enam bulan perang, produksi minyak negara itu berkurang drastis menjadi hanya 100.000 barel per hari.
Para ahli ekonomi dunia sudah memperhitungkan, dalam beberapa waktu yang tidak lama lagi, Britis Petroleum bisa mengeruk 1 juta barel per hari dalam beberapa bulan, sehubungan dengan rencana mereka untuk kembali ke Libya ketika situasi sudah memungkinkan.
Sementara itu, juru bicara Perdagangan & Investasi Inggris yang merupakan bagian dari Departemen Bisnis, mengumumkan bahwa pemerintah Inggris berencana untuk mengamankan pangsa pasar utama di Libya dan berusaha untuk memenangkan kontrak-kontrak menguntungkan.
"Kami menyusun kontak reguler dengan perusahaan dan organisasi yang memiliki kepentingan bisnis di Libya selama konflik berjalan. Begitu situasi di lapangan memungkinkan, kami akan memberikan dukungan dan nasihat kepada perusahaan yang ingin menjadi bagian dari upaya rekonstruksi ini," demikian bunyi dari juru bicara resminya.
Selain itu, direktur sebuah konsultan risiko internasional dan perusahaan manajemen keamanan Chris Sanderson, mengatakan bahwa hal ini adalah "kesempatan bagi Inggris untuk membangun bisnis komersial sebagai investasi yang signifikan dalam hal diplomatik dan militer." (af/presstv)