Tiba hari Jumat pertama kami di Suriah. Kawan-kawan dari tim sebelumnya telah memberi kabar bahwa tidak ada shalat Jumat di masjid. Jumatan dilakukan secara terbatas di klinik, jamaahnya pun tak banyak.
Namun cerita tadi agaknya terjadi di masa mendung. Di hari-hari cerah seperti sekarang, serangan pesawat sering datang. Meski demikian, saya dan kawan-kawan tetap bersiap, siapa tahu ada Jumatan. Meski dingin menggigit, kami mandi untuk shalat Jumat.
Qadarallah, Allah menentukan takdir-Nya. Sekitar jam 10 menjelang waktu Zhuhur tiba, datanglah heli birmil. Kami segera berlindung di koridor lantai bawah yang gelap. Dzikir dan takbir pun berkali-kali terdengar.
Satu demi satu bom birmil berjatuhan. Suaranya begitu dahsyat, gelombang pertama menjatuhkan sekitar 5 bom. Pesawat lalu pergi, apakah itu pertanda kami bisa merasa santai dan aman? Ternyata belum.
Klakson mobil dan teriakan terdengar di depan klinik. Ada korban terluka! Tim medis yang baru mau keluar dari perlindungan segera berloncatan dan berlari menuju ruang operasi.
Seorang pemuda digotong masuk. Punggung dan pinggulnya terkena pecahan bom. Tak henti-hentinya bertakbir menahan sakit. Ia segera ditangani. Seorang lelaki tua, ayah si pemuda, terlihat histeris. Orang-orang segera mengajak ia keluar dari ruang operasi agar tak mengganggu kerja tim medis.
Belakangan, dari warga yang menenangkan si bapak, saya baru tahu bahwa dua anaknya telah jadi korban bom. Yang pertama masih dirawat di Turki, adiknya menyusul kena bom juga.
Di tengah keributan dan kesibukan kerja para dokter dan perawat, seruan bahaya serangan udara terdengar lagi. “Thiyarah!… thiyarah!…” Kami yang bukan tim medis segera keluar dari ruang operasi dan menuju koridor bawah, berlindung.
Subhanallah, luar biasa tantangan para dokter dan perawat. Mereka masih harus menangani pasien di tengah serangan bom udara. Tapi para petugas medis itu tampak teguh dan tabah. Padahal paling sedikit tiga bom lagi meledak.
Semoga Allah membalas amal mereka dengan kebaikan. Pandangan miring terhadap dokter dan pelayanan medis yang kerap muncul di Nusantara rasanya sirna di Suriah.
Di tengah kebisingan itu, datang lagi seorang korban. Seorang gadis dengan luka parah di kepala. Batok kepalanya terkoyak serpihan bom, menampakkan otaknya. Tim medis mencoba memberikan pertolongan pertama agar kondisinya stabil.
Selang limabelas menit, datang lagi serangan gelombang ketiga. Ledakannya lebih dahsyat. Ada sekitar 8 birmil yang dijatuhkan. Ditingkahi sekitar 5 roket yang ditembakkan dengan suara yang dahsyat.
Kami sempat mengira serangan ketiga itu adalah jet MiG. Di kota lain seperti Damaskus, Hama, Homs dan Aleppo, serangan jet kerap terjadi. Serangannya mengerikan karena saat menukik suara ultrasonik menyertai. Sementara kecepatan terbangnya juga tinggi sehingga tak bisa ditembak dengan senjata antipesawat.
Sebaliknya serangan heli dilakukan dengan menjatuhkan bom birmil dari ketinggian lebih dari 1000 meter. Heli tak berani terbang rendah karena terbangnya lambat dan bisa ditembaki dari bawah.
Total 15-20 bom dan roket menghujani kami hari Jumat itu. Dalam periode antara Zhuhur dan Asar yang membuat shalat Jumat tak mungkin dilakukan. Belakangan kami cermati bahwa serangan kerap terjadi di waktu menjelang shalat. Pantas shalat jamaah di masjid tak bisa dilakukan. Apalagi masjid juga menjadi sasaran utama.
Abu Hasan, juru masak di klinik, mengatakan, “Pasukan Basyar tak suka adzan, shalat dan masjid. Mereka tak mengenal Allah.” Ia paham betul karakter itu karena pernah menjadi anggota militer Suriah.
Bagaimana dengan dua pasien tadi? Si pemuda harus dirujuk ke rumah sakit Yamamah, sementara si gadis tak tertolong. Ia menjadi syuhada pertama Suriah yang kami jumpai kematiannya. Allahummaghfirlaha waj’alha minasy syuhadaa..”
– Ustadz Fahmi Salim dari Suriah –