Setelah Uighur, Rezim Komunis-China Mulai Persekusi Muslim Utsul di Sanya

Ia juga menjelaskan wanita Utsul cenderung menganggap jilbab sebagai warisan tradisi, alih-alih tanda ketaatan agama. Hal ini disetujui oleh relawan komunitas Utsul. Ia mencatat bahwa pejabat lokal salah mengartikan adat sebagai pemaksaan agama kepada anak di bawah umur.

“Agama kita mengajarkan bahwa anak perempuan yang belum menstruasi tidak wajib memakai hijab. Namun, mereka memakainya karena kebiasaan. Itu hanya adat. Saya tak mengerti mengapa masalah ini dicampuradukkan dengan agama,” ungkapnya.

Selain itu, Ma memperkirakan penargetan Utsul di Sanya dapat menimbulkan masalah yang sebelumnya tidak ada. Meski jumlahnya jauh lebih sedikit daripada Uighur atau Hui, persekusi itu dapat merusak hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara. Pasalnya, etnis Utsul punya ikatan budaya yang kuat dengan kawasan itu.

Utsul adalah keturunan Cham yang dulu mendiami kerajaan Champa di Vietnam. Di sana, agama Islam menjadi dominan di abad ke-17. Utsul juga punya bahasa sendiri yang mirip dengan bahasa Melayu.

Ma mengatakan Malaysia dan Indonesia telah membangun hubungan dengan Utsul beberapa tahun terakhir. Bahkan, nenek mantan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi pun seorang Utsul. Badawi juga telah mengunjungi Sanya beberapa kali.

Jika penindasan terhadap minoritas berlanjut, Ma memperingatkan sentimen anti-China di negara-negara seperti Malaysia dapat dengan mudah meluap.

“Dengan hanya menghajar kelompok kecil Utsul, citra Tiongkok di hadapan Asia Tenggara bisa rusak. Ini dapat mendorong pemerintah mereka untuk menjadi lebih populis dan memicu kebencian terhadap perantau China di negara mereka,” komentarnya.(*)