Setelah Uighur, Rezim Komunis-China Mulai Persekusi Muslim Utsul di Sanya

Namun, tak ada alasan yang diberikan pada larangan pakaian tradisional bagi etnis Utsul Sanya. Menurut relawan komunitas itu, para wanita Utsul yang bekerja di pemerintahan kota Sanya dan cabang Partai Komunis China setempat juga dilarang mengenakan hijab ke kantor sejak akhir tahun lalu. Mereka hanya diberi tahu kalau hijab itu ‘tidak sesuai aturan’.

Dokumen Partai Komunis dari tahun lalu yang diperiksa oleh South China Morning Post dan diverifikasi oleh relawan komunitas itu hanya menyasar pada 2 lingkungan di Sanya yang kebanyakan penduduknya adalah etnis Utsul. Dokumen 4 halaman ini mengatur lingkungan tempat etnis Utsul tinggal, makan, dan beribadah.

Menurut dokumen itu, masjid harus diperkecil ukurannya saat dibangun kembali dan dilarang ‘bergaya Arab’. Aksara Arab juga harus dihapus dari etalase toko, begitu juga dengan karakter China untuk menulis kata Arab, seperti pada kata ‘halal’ atau ‘Islam’.

Pemantauan warga Utsul juga dijadikan prioritas utama untuk menegakkan ‘ketertiban sosial’ dan ‘menyelesaikan masalah’ di 2 lingkungan itu. Anggota partai Utsul juga akan diselidiki untuk memastikan mereka bukan Muslim dan akan dihukum jika terbukti taat beragama.

Selain hijab, rok panjang yang dikenakan wanita Utsul untuk menutupi aurat bagian bawah dilarang di sekolah dan tempat kerja. Masjid pun kini harus punya anggota Partai Komunis yang duduk di komite manajemen mereka untuk pemantauan.

Langkah ini serupa dengan kebijakan yang pertama kali dikembangkan di Xinjiang yang kemudian diterapkan di seluruh negeri. Di tahun 2018, Dewan Negara China mengeluarkan arahan rahasia yang memerintahkan penghapusan corak Arab apa pun dari masjid dan banyak pembatasan lainnya. Sejak saat itu, masjid di daerah atau provinsi di luar Xinjiang tak lagi menggunakan kubah, tetapi diganti dengan atap biasa atau pagoda gaya China.

Menurut relawan Utsul tersebut, pelarangan hijab ini menuai protes keras dari siswa dan keluarganya. Larangan pun dicabut untuk sementara pada Selasa (22/9) setelah ratusan siswa di 3 sekolah menolak melepas hijab mereka, sedangkan siswa lainnya memboikot kelas untuk menunjukkan dukungan.

Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah kota Sanya menolak menanggapi permintaan komentar dari South China Morning Post.

Sementara itu, menurut Ma Haiyun, seorang profesor sejarah di Universitas Negeri Frostburg di Amerika Serikat, Xinjiang adalah ‘laboratorium’ untuk kebijakan represif terhadap Islam yang kini ditiru di seluruh China. Ma yang merupakan seorang Muslim Hui menjelaskan ada standar ganda yang jelas dalam menyikapi pakaian tradisional. Saat negara itu menargetkan minoritas, tren terbaru di kalangan milenial untuk mengenakan pakaian tradisional Han justru menuai pujian dari otoritas.