“Hari-hari ini anak-anak tidak dibolehkan percaya pada agama, hanya pada komunisme dan partai.”
Lebih dari 1.000 anak laki-laki biasanya mengikuti pelajaran Alquran di masa liburan sekolah di musim panas dan musim dingin tapi kini mereka dilarang.
Orangtua diberitahu soal larangan mempelajari Alquran demi kebaikan anak-anak mereka, supaya mereka bisa fokus pada kursus bidang-bidang sekuler.
“Kami takut, sangat takut. Kalau terus seperti ini maka satu atau dua generasi lagi tradisi kami akan lenyap,” kata Ma Lan, seorang pengasuh berusia 45 tahun seraya menitikkan air mata.
Petugas kerap memeriksa masjid setempat tiap beberapa hari sekali saat musim liburan sekolah buat memastikan tidak ada anak laki-laki yang belajar agama.
Putra Ma Lan yang biasanya belajar lima jam sehari di masjid kini lebih sering di rumah menonton televisi. Dia bercita-cita jadi imam tapi guru sekolahnya mendorong dia untuk mencari uang dan menjadi kader komunis.
Menurut data statistik pemerintah pada 2012 ada hampir 10 juta warga muslim Hui atau separuh dari jumlah keseluruhan warga muslim di Negeri Tirai Bambu.
Januari lalu pejabat lokal menandatangani dekrit yang memastikan tidak ada orang atau organisasi yang ‘mendukung, membimbing, anak kecil menuju masjid buat belajar Alquran atau praktik agama.
“Saya tidak bisa bertentangan dengan keyakinan saya. Islam harus dipelajari dari buaian sampai liang lahat. Sejak seorang anak sudah bisa belajar bicara, kita harus mengajari mereka kebenaran,” kata sang imam kepada AFP. “Rasanya perlahan-lahan kita seperti kembali ke masa Revolusi Kebudayaan.”
“Beijing menyasar anak-anak buat memastikan tradisi keagamaan musnah seraya pemerintah mengatur segala urusan ideologi,” kata William Nee, peneliti China di Amnesty International. (kl/arb)