Tak pernah terlintas sedikitpun di benak Usamah, namanya itu akan membuat hidupnya jadi tidak nyaman. Pasalnya, teman-teman sekolah, bahkan guru-gurunya, kerap memanggilnya dengan "Bin Ladin" dan "teroris."
Bagi Usamah, julukan itu seperti mimpi buruk dan membuatnya sangat tertekan hingga ia mencoba bunuh diri sampai dua kali dan akhirnya mengganti namanya dengan Sammy.
Ibu Usamah, Suad Abuhasna dalam wawancara dengan Reuters, Jumat (8/6) mengungkapkan kegundahan hatinya mengingat pengalaman yang pernah dialami puteranya itu, ketika masih menjadi siswa di Tottenville High School di Staten Island, New York.
"Mereka telah menghancurkan kehidupan kami yang manis dengan apa yang mereka lakukan pada Usamah, " ujar Abuhasna yang berimigrasi dari Yordania ke AS pada Desember 1999 bersama suami dan empat anak-anaknya. Anak tertua Abuhasna, anggota angkatan laut AS, pernah ditugaskan dalam perang di Irak.
Karena sering dijuluki "Bin Ladin" dan "teroris" Usamah mengganti namanya dan sekarang lebih dikenal dengan nama Sammy. "Saya hanya ingin membuat hidupnya lebih mudah, " kata Abuhasna berkomentar soal anaknya.
Menurut Usamah, justru guru-gurunya yang lebih sering memanggilnya dengan nama belakang tokoh yang selalu dikaitkan dengan jaringan al-Qaidah itu. Sedangkan teman-teman sekelasnya masih bersikap toleran. "Setelah itu, saya tidak mau bersekolah lagi di sana, " imbuh Usamah alias Sammy.
Menurut ibunya, sejak Usamah masuk ke sekolah Tottenvile pada tahun 2004, ia merasa terus tertekan dengan sikap guru-gurunya yang kerap melontarkan pernyataan-pernyataan anti-Muslim. Akibatnya, prestasi akademis Usamah menurun, sering berkelahi dan sering kabur dari rumah.
Ibu Usamah sudah berulangkali menyampaikan keluhannya ke sekolah. Tapi ejekan dan julukan pada Usamah tidak pernah berhenti.
Kepala sekolah yang dimintai konfirmasinya tentang persoalan ini, menolak berkomentar.
Sementara itu, juru bicara Departemen Pendidikan New York City Dina Paul Parks mengatakan bahwa pihaknya tidak mentoleransi pelecehan dan ejekan dengan alasan apapun. Namun ia tidak bersedia mengomentari kasus Usamah secara khusus, dengan alasan keluarga Usamah sudah mengajukan gugatan hukum.
Keluarga Usamah memang sudah mengajukan gugatan ke Pengadilan Distrik New York terhadap pemerintah kota dan sekolah dengan tuduhan telah melakukan pelecehan agama. Selain itu, keluarga Usamah juga menarik puteranya dari sekolah menengah Tottenville pada tahun 2006. Tapi permasalahannya ternyata tidak semudah yang mereka kira.
Pada bulan suatu hari di bulan Juli, Usamah dua kali mencoba bunuh diri. Pertama, dengan minum obat penenang dengan dosis besar, kedua, dengan cara gantung diri.
"Saya sangat muak pada saat itu. Saya tidak bisa berpikir jernih. Saya tidak punya pilihan untuk keluar dari rasa sakit ini, " ujar Usamah yang fasih berbahasa Arab.
Meski dihina, ia mengaku sangat bangga sebagai seorang keturunan Arab dan meminta keluarga tetap memanggilnya Usamah, yang kini mengikuti program remaja yang fobia sekolah di sebuah sekolah menengah di Broklyn.
"Saya hanya berharap pengalaman yang saya alami tidak terjadi pada keluarga lain, " ujar ibu Usamah mengenang masa-masa berat puteranya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Columbia University menunjukkan bahwa warga Muslim menjadi kelompok masyakarat minoritas yang perkembangannya paling cepat di New York. Jumlah mereka saat ini sekitar 600 ribu orang. Para pemuka agama Islam di kota terbesar di AS itu mengatakan, kasus Usamah membuktikan makin meningkatnya ketidakpercayaan dan rasa ketakutan akan Islam di kalangan masyarakat AS sejak peristiwa 11 September.
"Islamofobia menjadi semacam budaya di kalangan masyarakat AS. Tak terkecuali anak-anak, tidak terbebas dari ancaman Islamofobia, " kata Arsalam Iftikar, Direktur Legal Council on American-Islamic Relations. (ln/iol)