Israel di sisi lain sangat yakin Hamas enggan bertempur karena telah memberikan insentif ekonomi bagi para pekerja atau buruh yang berasal dari Gaza. Para pejuang Hamas sendiri terus berlatih, bahkan terang-terangan di hadapan kamera-kamera CCTV Israel.
Gaza sendiri seding dijuluki sebagai penjara terbesar di dunia. Israel diketahui memasang ribuan CCTV, radar dan sensor bawah tahan di tembok sepanjang 64 km di perbatasan Gaza.
Selain itu Israel juga memantau kawasan tersebut menggunakan drone-drone sepanjang waktu dan memiliki jaringan informan yang luas di antara 2 juta penduduk jalur tersebut.
Taktik brilian intelijen Hamas
Seorang sumber internal Hamas, kepada Reuters, menjelaskan tentang persiapan pihaknya sebelum melancarkan serangan ke Israel pada akhir pekan lalu. Penjelasan ini selaras dengan kisah dari tiga orang pejabat bidang keamanan Israel.
“Hamas menggunakan taktik intelijen baru untuk mengelabui Israel selama beberapa bulan terakhir, dengan memberi kesan kepada publik bahwa pihaknya belum siap berperang dengan Israel sembari diam-diam mempersiapkan operasi besar,” kata sumber tersebut.
Salah satu persiapan yang dibuat Hamas adalah membangun tiruan pemukiman Yahudi di Jalur Gaza. Di sana para pejuang Hamas berlatih melakukan manuver tempur, sehingga sudah terbiasa saat operasi digelar.
“Israel jelas melihat latihan tersebut, tetapi yakin bahwa Hamas enggan berkonfrontasi,” beber sumber itu lagi.
Yang dilakukan Hamas untuk membuat Israel lengah adalah menciptakan kesan bahwa pihaknya lebih mementingkan nasib para pekerja Palestina dari Jalur Gaza yang mengadu nasib di Israel.
Insentif ekonomi
Israel diketahui memberikan pekerjaaan kepada ribuan warga Palestina di Jalur Gaza, yang setiap hari melewati perbatasan dan pos pemeriksaan untuk mencari nafkah di pemukiman serta pertanian Yahudi dan di Tepi Barat.
Kebijakan ini diambil Israel seusai perang 2021 melawan Hamas. Israel menilai stabilitas ekonomi di Gaza adalah kunci untuk meredam Hamas.
“Kami percaya dengan mereka bekerja dan membawa pulang uang ke Gaza, maka akan tercipta ketenangan. Ternyata kami salah,” kata seorang sumber dari militer Israel.
“Mereka membuat kami mengira, bahwa mereka hanya menginginkan uang,” kata sumber Israel yang lain.
Salah satu faktor terpenting dari taktik Hamas adalah selama dua tahun terakhir, kelompok bersenjata itu selalu menghindar untuk berkonfrontasi dengan Israel. Bahkan ketika kelompok milisi Jihad Islam, yang juga bermarkas di Gaza, melancarkan serangan, Hamas memilih untuk diam.
Taktik Hamas ini sempat membuatnya dikritik oleh para pendukungnya sendiri. Mereka menilai Hamas kini lembek, karena lebih mementingkan uang ketimbang perjuangan kemerdekaan Palestina.
Dari Tepi Barat, yang dikuasai oleh Fatah, muncul suara yang menghina Hamas. Mereka menuding para petinggi Hamas hidup foya-foya di negara-negara Arab seperti Qatar, sementara rakyat kecil hidup menderita di Gaza.
Sumber dari pihak militer Israel mengatakan pihaknya sampai percaya bahwa pemimpin Hamas, Yahya Al-Sinwar kini lebih sibuk mengurus kehidupan publik di Gaza ketimbang memerangi Yahudi.
Di saat yang sama, Israel mulai mengalihkan fokus untuk membangun hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab, terutama Arab Saudi.
Salah satu kunci taktik Hamas adalah mencegah kebocoran informasi. Faktanya banyak pimpinan Hamas sendiri yang tak tahu soal rencana serangan umum ke Israel pada 7 Oktober kemarin.
Empat fase serangan
Saat hari yang ditentukan tiba, serangan umum Hamas dibagi dalam empat fase.
Pertama adalah gempuran 3.000 roket yang ditembakan dari Gaza. Hujan roket ini dibarengi oleh pendaratan pasukan dari darat, laut dan udara. Dari udara, pasukan komando Hamas menggunakan paralayang.
Setelah pasukan paralayang mendarat, mereka bertugas mengamankan jalur yang digunakan pasukan elite Hamas yang datang untuk menghancurkan tembok perbatasan.
Para pejuang Hamas itu meruntuhkan tembok tinggi Israel menggunakan bahan peledak dan buldozer.
Pasukan komando Hamas lalu menggunakan sepeda motor dan kendaraan lain untuk menyerang markas militer Israel di selatan Gaza dan merusak sistem komunikasinya, sehingga musuh tak bisa memanggil bala bantuan.
Fase terakhir kemudian dilaksanakan, yakni membawa para tawanan – baik tentara Israel maupun warga sipil – ke Gaza.
Israel lengah
Sumber dari militer Israel mengakui pihaknya memang lengah. Ketika serangan terjadi, sebagian tentara di dekat Gaza sudah dipindahkan ke Tepi Barat, untuk menjaga para pemukim Yahudi yang sering berkonflik dengan warga Palestina.
“Ini yang dimanfaatkan Hamas,” kata sumber tersebut.
Yaakov Amidror, jenderal purnawirawan yang juga mantan penasehat keamanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, mengatakan bahwa serangan Hamas itu menunjukkan kegagalan besar dalam sistem intelijen Israel.
Amidror mengatakan bahwa Israel tadinya mulai percaya bahwa Hamas kini berubah, menjadi lebih bertanggung jawab.
“Kami dengan bodohnya percaya saja. Jadi kami membuat kesalahan,” terang dia.
Selain itu Israel juga mengaku lengah, karena serangan Hamas itu dilancarkan bertepatan dengan hari Sabath.
Dalam serangan umum 7 Oktober itu, Hamas menewaskan 700 warga Israel dan menawan ratusan lainnya. Sementara itu Israel, dalam serangan balasannya ke Gaza, sudah menewaskan lebih dari 400 orang. (Sumber: Suara)