Sejumlah analis Israel mengungkapkan keraguannya bahwa tentara Israel mampu mengalahkan pejuang Hizbullah. Mereka berpendapat, Israel kini mulai memperhitungkan ongkos perang yang harus dibayar dengan hasil yang mereka dapatkan untuk menghancurkan Hizbullah.
Menurut Cameron Brown dari Herzliya Interdiciplinary Center, Israel, pada titik tertentu orang kini mulai bertanya-tanya ‘apakah kekuatan udara saja tidak cukup’ untuk mengalahkan pejuang Hizbullah?
"Dulu ada gelombang optimisme, tapi Saya pikir Israel sekarang mulai memperhitungkan atas apa yang bisa mereka lakukan untuk setiap pilihan," kata Brown.
Meski Israel sudah menghancurkan sebagian besar wilayah Libanon dan meluluhlantakkan infrastrukturnya, para analis Israel meyakini bahwa posisi Hizbullah masih sangat kuat.
"Hizbullah tetap sebagai rival yang pantang menyerah seperti sebelumnya. Hizbullah tidak menunjukkan tanda-tanda akan melemah," ujar Amos Harel dalam tulisannya yang dimuat di harian Haaretz.
Hal serupa diungkapkan analis militer Israel, Reuven Padatzur. "Tidak terbantahkan, Israel kini dalam posisi terjepit. Militer Israel lagi lagi terlalu percaya diri dan tidak memperhitungkan kekuatannya untuk mengalahkan Hizbullah," imbuhnya seperti dikutip AFP.
"Hizbullah nampaknya masih tetap kuat dan moralitasnya masih tinggi," tambah Shaul Mishal, pakar kelompok Islam dari Universitas Tel Aviv.
"Cuma khayalan, jika berpikir bisa menghancurkan persenjataan milik gerakan seperti Hizbullah hanya dengan menggungakan kekuatan militer semata. Apalagi Hizbullah didukung oleh kaum Syiah di Libanon yang jumlahnya sekitar 40 persen dari total penduduk Libanon," sambung Mishal.
Mishal juga menyatakan, tentara Israel akan menghadapi resiko yang lebih besar dengan mengerahkan pasukan daratnya ke wilayah Libanon.
Militer Israel, sejak dua hari lalu memang sudah mengerahkan pasukan daratnya dan mengurangi serangan lewat udara. Meski sesumbar mampu memasuki wilayah Libanon, Israel sebenarnya menyimpan trauma menghadapi pejuang Hizbullah yang menyerang mereka pada tahun 2000 lalu, setelah 22 tahun penjajahannya di Libanon.
Disisi lain, meski sejumlah analis pesimis Israel mampu mengalahkan Hizbullah, PM Israel Ehud Olmert tetap menunjukkan keangkuhannya untuk menghancurkan Libanon, sampai tujuannya membebaskan tentara Israel yang ditawan Hizbullah dan perlucutan senjata Hizbullah, tercapai.
Penulis Yaron London dalam artikelnya yang dimuat di harian Israel, Yedioth Ahronoth mengatakan, perang Israel ke Libanon adalah bencana. "Perang ini akan berakhir dengan kepahitan di mulut kita. Kita sebaiknya membiasakan diri dengan rasa pahit itu," tulis London. (ln/iol)