Ini merupakan dekade pertama terjadi demonstrasi massal terlihat di Suriah. Namun, sesungguhnya Suriah memiliki sejarah yang kaya dengan pemberontakan – dan represi. Di mana pemerintahan minoritas Alawiyin (Syiah) yang berkuasa dengan kekuatan tangan besi yang didukung militer terus mengendalikan negara.
Aksi protes yang sekarang berlangsung di Suriah, merupakan pertama kalinya, sejak 41 tahun berlangsung aksi "revolusi menentang" rezim Hafez al-Assad – ayah dari saat Presiden Bashar al-Assad – yang mengendalikan kekuasaan dengan tangan besi. Tangan Hafez al-Assad penuh dengan darah.
Pada waktu itu, rezim Partai Baath yang berkuasa di Suriah sudah menghadapi beberapa tantangan rakyatnya yang melakukan aksi protes. Tetapi, semua gerakan yang muncul ditumpas dengan menggunakan kekerasan militer. Sehingga, rakyat tidak berani melakukan aksi menentang rezim Partai Baath yang berkuasa di Suriah dibawah Hafez al-Assad.
Tindakan rezim yang berkuasa di Suriah dengan melakukan represi yang kejam, dan dikombinasikan dengan janji-janji perubahan. Tetapi, sebagian besar perbedaan pendapat Suriah terus terus berlangsung dengan aman, karena gerakan mereka melalui kelompok diskusi intelektual, dan sekarang melalui di internet dan facebook.
Politik Penguasa Suriah.
Dari tahun 1940 sampai awal 1960-an gambaran politik Suriah dibentuk oleh kekuatan politik yang saling bersaing. Tentara memainkan peran penting di negeri itu. Di mana perubahan kekuasaan yang ada selalu diwarnai campur tangan militer. Tidak ada perubahan di Suria yang tanpa campur tangan militer. Hakikatnya perubahan politik di Suriah adalah perebutan kekuasaan antara elite militer di negeri itu. Setidaknya terjadi tiga kali kudeta militer yaitu pada tahun 1949, kemudiian tahun 1954, serta kudeta yang dipimpin Baath tahun 1963 dan 1966.
Tentara sebenarnya yang menjadi semakin memainkan peranan politik yang pentingi, sebagai perwira muda menjadi dipengaruhi oleh komunis dan Baathists menyerukan perubahan radikal. Para perwira muda Suriah memiliki ideologi sosialisme dan bergaya seperti militer Soviet, tetapi di satu sisi, bergaya seperti perwira militer Arab.
Sekarang bermunculan suara-suara dari rakyat yang menuntut perubahan yang lebih demokratis, dan mencbut hukum darurat militer. Baru-baru ini pidato Bashar al-Assad, yang disiarkan oleh telivisi nasional, menjanjikan akan mencabut undang-undang darurat militer yang sudah berlangsung berpuluh tahun. Tetapi, nampaknya sekarang ini tuntutan rakyat bukan hanya pencabutan undang darurat, tetapi perginya rezim Alawiyin, yang berbeda dengan mayoritas rakyat Suriah yang menganut paham Sunni.
Peristiwa pembantaian pertama terjadi pada 1953-1954 yang puncaknya penggulingan rezim militer Presiden Adib Shishakli. Ketidak puasan rakyat yang memuncak itu, akhirnya harus dihadapi oleh kekuatan militer yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban. Akibat represif yang dilakukan oleh militer. Setiap kali muncul aksi protes rakyat selalu militer menggunakan tangan besi. Hanya bedil dan tank baja untuk menghentikan aksi rakyat.
Menanggapi beredaranya selebaran anti-pemerintah, Jenderal Shishakli memerintahkan tentara ke daerah Jabal Druze di selatan Suriah, kemudian menangkap pemimpin Druze dan diekskusi, tanpa ampun.
Tetapi, tindakan aparat militer yang membunuh demonstran itu, justru memicu aksi demonstran lebih luas lagi. Sementara itu pemogokan dan demonstrasi mahasiswa di Aleppo dan kota-kota utara dan tengah lainnya juga menghadapi represi pasukan pemerintah.
Pada akhir Januari 1954 kekuatan rakyat bersatu melawan Jenderal Shishakli yang kemudian digulingkan melalui sebuah pemberontakan yang dimulai dari kota Aleppo.
Luar biasa situasi Suriah. Para pemimpin kudeta menyerahkan kembali kekuasaannya kepada kekuatan sipil, yang memungkinkan pemilihan umum yang bebas yang akan diadakan beberapa bulan kemudian.
Pembantaian Hama
Periode berikutnya terjadinya pembrontakan terhadap rezim Assad di tahun 1970-an yang lebih berdarah. Ini karena Assad menggunakan kekuatan militer untuk menumpas gerakan yang ingin menumbangkan rezim Hafez al-Assad. Tetapi, usaha mereka gagal, dan berhasil dihancurkan militer. Peristiwa di Hama sangat tragis.
Suriah ikut melakukan campurdalam perang saudara Lebanon pada tahun 1976 melawan faksi Palestina kiri. Aksi itu diikuti dengan protes yang luas dan agitasi untuk reformasi demokrasi dan supremasi hukum yang dipimpin oleh para aktivis sekuler.
Ttentara Suriah di depan lukisan Hafez al-Assad pada tahun 2005-an menggunakan kekuatan dengan brutal untuk menumpas setiap kelompok oposisi. Sementara itu kelompok oposisi bawah tanah Islam terlibat dalam serangan kekerasan terhadap pejabat rezim dan pendukung dan melakukan kampanye pemboman.
Terakhir datang tahun 1982, di mana berlangsung pemberontakan di kota Hama yang dihancurkan secara brutal oleh tentara, mungkin mengakibatkan lebih dari 10.000 tewas dan sebagian besar akibat reruntuhan bangunan kota yang dihancurkan dengna serangan udara dan tank.
Kenangan Hama, ditambah dengan penindasan terhadap jaringan oposisi liberal dan kiri, bahwa hampir 20 tahun sebelum munculnya kekuatan oposisi yang meluas menjadi sebuah gerakan yang lebih besar menentang rezim Assad.
Pada tahun 2000, setelah kematian Hafez al-Assad, bermunculan kritik dari kalangan intelektual terhadap rezim Assad, menjadi motor kebangkitan gerakan kaum oposisi yang dikenal sebagai "Spring Damaskus".
Walaupun ini adalah awalnya bersifat diskusi intelektual, bukan sebuah gerakan protes, itu menyebabkan kelahiran kembali aktivisme politik di kalangan lapisan intelektual dan profesional. Dari beberapa mereka terus menekan untuk reformasi politik hingga saat ini.
Salah satu tokoh tersebut adalah Suhair al-Atassi, yang mendirikan al-Atassi Forum Jamal. Sebuah kelompok diskusi yang diberi nama setelah ayahnya, seorang kritikus politisi yang telah lama menentang pemerintah.
Forum ini ditutup oleh rezim Assad pada tahun 2005, tetapi baru-baru ini digiatkan kembali oleh Ibu Atassi sebagai kelompok diskusi berbasis internet. Dia juga sangat aktif dalam kampanye melalui online untuk mendukung Tal al-Mallouhi, seorang blogger wanita muda saat ini berada di penjara.
Pemberontakan di Mesir dan Libya menjadi inspirasi Ibu Atassi dan sesama aktivis hak asasi manusia untuk mencoba mengatur protes publik dalam skala kecil.
"Semua yang mereka lakukan sedang memegang lilin di depan kedutaan," kata Mounir Atassi, seorang teman keluarga. Para aktivis diserang oleh polisi dan kemudian pada tanggal 16 Maret, Suhair al-Atassi ditangkap selama demonstrasi dan menjadi tahanan politik.
Beberapa hari setelah penangkapan itu, kejadian-kejadian di Deraa telah memicu aksi protes dan memulai siklus penindasan dan pemberontakan yang memiliki potensi untuk melahirkan radikalisasi secara luas Suriah. Mounir Atassi menekankan bahwa Suhair dan aktivis hak asasi manusia telah menyerukan reformasi, bukan revolusi selama bertahun-tahun.
Tetapi pembunuhan demonstran oleh otoritas yang membuat orang mulai bertanyan terhadap rezim yang berkuasa secara langsung, katanya.
"Sekarang ada terdengar lebih dan lebih banyak orang yang menuntut perubahan yagn luas dan tidak seorang pun dapat memperkirakan seberapa jauh tuntutan tersebut akan berhenti". Dia mengatakan hanya bicara reformasi tidak cukup untuk menenangkan orang-orang Suriah.
"Apa yang mereka dengar di media sangat berbeda dengan apa yang mereka lihat di lapangan. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak percaya janji-janji bahwa pemerintah akan melakukan reformasi ." (mh/tm)