Bagaimana dengan Indonesia? Kontribusi PPN terhadap penerimaan pajak sepanjang 2017 mencapai Rp 478,4 triliun atau 35,70% dari total penerimaan pajak sebesar Rp1.339,8 triliun.
Beranikah Presiden Jokowi menghapus PPN sebesar Rp478,4 triliun demi menggairahkan perekonomian sekaligus mengatrol daya beli masyarakat? Dijamin 1000% tidak berani, karena ruang fiskal pada APBN 2018 sangat sempit, ditambah pula butuh likuiditas yang lebih besar untuk membangun infrastruktur.
Tapi apa sebenarnya motif Mahathir selain meningkatkan daya beli masyarakat dan mempercepat roda perekonomian dengan menghapus GST?
Rumors yang berkembang, Mahathir akan menghidupkan wakaf aset maupun wakaf tunai sebagai potensi perekonomian. Potensi wakaf di Malaysia jauh lebih besar dibandingkan potensi penerimana PPN, konon dikabarkan potensi wakaf Malaysia bisa 5 hingga 10 kali lipat dari potensi PPN.
Tapi memang rute yang harus dilalui untuk bisa memaksimalkan wakaf kepala negara haruslah orang yang kredibel, dikenal kesalehannya, keberanian dalam mengambil kebijakan yang berpihak pada ummat dan jujur. Semua itu ada pada sosok Mahathir.
Tentu masih jauh panggang dari api untuk kasus Indonesia yang lebih menggali utang ketimbang menggali wakaf. Wajar kalau dari hari ke hari dari waktu ke waktu kepercayaan itu hilang perlahan namun pasti.
Selamat Datuk Mahathir, selamat menyejahterakan rakyat Malaysia. Mungkin tiba saatnya semangat itu ditularkan ke Indonesia.(kl/nusantaranews)