Enam orang Irak berasal dari lintas etnik, akan menggunakan jaringan televisi dan radio untuk menebarkan kedamaian. Mereka ingin meringankan penderitaan akibat kekerasan antar etnik yang begitu luas di Irak dan berupaya menyatukan kembali komunitas Sunni dan Syiah dalam kehidupan yang rukun.
Meski hingga kini pemodal utama jaringan televisi dan radio yang akan di-launching itu adalah tentara AS dan pemerintah Irak, namun misi awal yang digagas patut disambut positif. Lokasi stasiun berada di wilayah Shahrawiya, yang dijaga ketat oleh militer AS. Salah satu pengelolanya adalah Samir Khamis, asal Sunni (28).
“Sudah waktunya kita berupaya untuk menghentikan semua kekerasan, ” ujarnya seperti dikutip kantor berita Prancis.
Khamis menjelaskan bagaimana dirinya berupaya membangun stasiun televisi ini. “Kami bekerja 14 jam sehari dari jam 8 pagi sampai jam 10 malam. Saya sendiri bahkan belum bertemu keluarga sejak lima bulan terakhir, ” ujarnya.
Menurutnya stasiun radio yang akan dibuatnya bisa mencapai 40% wilayah Irak. Sementara sinyal televisi bisa mencapai seluruh sudut kota Baghdad dan distrik Diali yang berada di Timur Baghdad.
Membangun stasiun tv dan radio tentu bukan hal sederhana. Terlebih di lokasi rawan yang penuh konflik seperti di Irak. Menurut Khamis dirinya telah menerima banyak ancaman yang memintanya agar berhenti melakukan pembuatan stasiun itu. “Tapi saya yakin ini adalah kewajiban yang tidak bisa saya tinggalkan, ” katanya tanpa menjelaskan siapa saja pihak yang menerornya.
Sampai saat ini, belum ada media informasi independen di Irak. Karena itulah Khamis termotivasi untuk mewujudkannya. Saat ini, proyek pembangunan stasiun tv dan radio masih dalam tahap pembelian pemancar dan petugasnya masih terdiri dari tentara AS dan pemerintah lokal Irak. Mereka menggunakan kesempatan itu untuk menayangkan berbagai liputan positif tentang apa yang dilakukan di Diali. Latarbelakang mempekerjakan orang Amerika di stasiun uji coba ini adalah karena lokasi stasiun yang menurut Khamis memang perlu penjagaan ketat.
“Mereka hanya menjaga kita, tapi mereka tidak mengelola apa yang kita kerjakan. Mereka tidak mau menentukan apa yang kita inginkan, ” kata Khamis.
Perlu diingat, Irak merupakan wilayah paling rawan di dunia bagi wartawan. Sejak infasi militer AS di Irak, sudah terbunuh lebih dari 150 orang wartawan yang dominannya adalah warga Irak. Sejak empat tahun perang Irak, setiap hari aksi kekerasan antar etnik semakin menjadi jadi. Lebih dari 100 orang setiap hari meninggal. Di tahun 2006 lalu, sebanyak 34 ribu orang tewas akibat kekerasan antar etnik yang begitu dahsyat di Baghdad. (na-str/iol)