“Mereka berasumsi bahwa karena kami berada di sini maka bar-bar akan ditutup, hukum Syariah akan diberlakukan, dan lain-lain. Saya kira mereka tidak mengerti bahwa mayoritas anggota dewan kota Hamtramck adalah Muslim, dan dewan kita tidak melakukan perubahan apa-apa yang membuat kota ini lebih bernuansa Muslim,” kata Ahmed.
Meski hanya sedikit warga Amerika keturunan Polandia di kota itu, posisi wali kota dipegang oleh perempuan keturunan Polandia. Karen Majewski, demikian nama wali kota itu, bahkan kini memimpin pada masa jabatan keempat.
Majewski mengakui bahwa ada friksi ketika kota itu secara perlahan berubah menjadi kota yang penduduknya mayoritas Muslim.
“Etnisitas dan keberagaman menjadi ciri khas kota ini. Sesuatu yang kita harga. Memang sih praktiknya tidak selalu mudah di dunia nyata. Tapi paling tidak kami berusaha untuk berinteraksi satu sama lain sebagai satu kesatauan masyarakat,” kata Majewski.
Namun ia juga mengakui secara perlahan, masyarakat kota itu mau menerima kehadiran Muslim.
“Ada suasana penerimaan seiring berjalannya waktu. Mereka secara perlahan menerima kehadiran Muslim. Dan ini yang membuat kita berpotensi untuk dijadikan kota contoh mengenai interaksi dalam keberagaman,” kata Majewski.
Dulu, tepatnya pada 2014, warga Muslim masih minoritas. Namun jumlahnya kian membengkak, dan dewan kota sempat mengeluarkan peraturan yang melarang masjid memasang suara azan keras-keras. Peraturan itu masih berlaku, namun masyarakat tidak keberatan jika sesekali suara azan dikumandangkan kersa-keras pada hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha.
Seorang pemilik bar dan restoran khas Polandia di Hamtramck bernama Carolyn Wietrzykowski mengakui bahwa awalnya ada reaksi penolakan warga non-Muslim terhadap para pendatang Muslim. Namun, katanya, itu sudah menjadi cerita lama.