Presiden Obama, dan Agenda Segudang Perang

Barack Obama mulai yakin bahwa dunia tidak semudah yang ia bayangkan, dan hal itu sama sekali tidaklah cukup membedakannya dengan George Bush dalam menggambarkan citra AS, menghentikan perang, dan keterlibatan AS sendiri.

Obama sadar bahwa melanjutkan hegemoni AS berharga mahal, dan untuk terus mempertahankan status itu sekarang ini menjadi amat mustahil menilik kondisi pilitik, ekonomi, dan keamanan AS sendiri.

Obama akan menghadapi dua kesulitan besar dari dua negara. Pertama, Azif Zardari, presiden Pakistan. Kedua, Hamid Karzai dari Afghanistan.

Asif Ali Zardari, seperti diketahui tidak akan pernah menjadi presiden Pakistan, jika tidak Jendral Parvez Musharaf melenyapkan istrinya Benazir Bhutto,  yang pernah menjadi presiden Pakistan sebelumnya. Pelenyapan Bhutto melibatkan banyak front, dan pembunuhan itu sekaligus melenyapkan semua kesepakatan rahasia yang telah disusun oleh Bhutto dengan sebuah negara Arab sebelumnya. Legitimasi Zardari dibangun dari tumpahnya darah Bhutto, hingga sangat sulit menjadikan Zardari sebagai simbol negara Pakistan. Zardari dipenjara selama 10 tahun karena korupsi, karena ia merupakan bagian sejarah Pakistan yang lekat dengan ketamakan militer dan korupsi pemerintahan.

Bagi Obama dan AS serta sekutunya,  Karzai pun sama tidak menyenangkannya dengan Zardari. Karzai gila popularitas. Namun, hanya presiden sinting yang menikmati popularitasnya di atas adanya pendudukan (penjajahan) oleh sebuah negara atas rakyatnya, namun itulah Karzai. Pemilu Afghanistan diperkirakan akan sulit sekali karena dimanapun, orang tak akan mau membuka surat suara ketika kondisi negaranya begitu porak-poranda. Campur tangan AS dan NATO diperkirakan akan membuat segalanya lebih mudah bagi Karzai untuk melenggang dalam pemilu berikutnya pada Agustus mendatang. Afghanistan sendiri seperti hidup di waktu yang lain. Kondisi ekonomi, sosial, dan budayanya tak mempunyai pola yang pasti karena selain perang dengan AS dan NATO, mereka juga dihadapkan pada konflik saudara dan etnis.

Karzai menghadapi kesulitan besar karena ia berkonfrontasi dengan Taliban yang didukung oleh rakyat. Ini situasi yang buruk baginya. Memperluas kekuasaan Karzai hanya menjadikannya semakin rapuh, karena rakyat Afghan sudah berada dalam posisi "nothing to lose" seandainya terjadi perang massal antara Taliban dan AS, sesuatu yang sangat tidak disukai oleh AS.

Dan atas kedua permasalahan negara itu, Obama adalah muaranya. Otoritas pemerintah Pakistan semakin menyusut, karena rakyat terbelah dengan keinginan menerapkan Syariah. Badan intelijen sudah mengangkat tangan terhadap permsalahan ini, tak bisa lagi mengendalikan kebangkitan rakyat Pakistan. Sedangkan republik Karzai telah gagal. Obama tahu bahwa dia berada dalam rawa lumpur yang membuatnya takut. Afghanistan adalah sebuah jebakan, dan Pakistan pun tak jauh berbeda.

Selain Afghanistan dan Pakistan, Obama tengah menghadapi berbagai macam perang. Obama mengakhiri 100 hari pertamanya dengan segudang kenyataan, krisis finansial, flu babi, Afghanistan dan Pakistan, Korea, Somalia, dan Yaman.

Sebenarnya AS bisa memilih untuk menyederhanakan masalah yaitu fokus pada permasalahan negaranya saja yang tengah di ambang sekarat karena krisis ekonomi. Tapi Obama, dengan mengirimkan ribuan pasukan ke Afghanistan dan bertekad membasmi Taliban di Pakistan, telah memilih cara yang adigung untuk menyamakannya dengan Bush, seorang presiden dengan segudang perang. (sa/hyt)