Jaringan televisi Al-Jazeera secara resmi meluncurkan saluran berbahasa Inggris-nya pada Rabu (15/11). Sejak kehadirannya 10 tahun yang lalu, stasiun televisi yang berbasis di Doha, Qatar ini berhasil merebut perhatian pemirsanya di dunia Arab dan berhasil mematahkan dominansi media massa Barat.
"Saluran berbahasa Inggris Al-Jazeera akan menayangkan agenda berita," kata pembawa acara Shiulie Ghosh dan Sami Zeidan dalam acara peluncuran kemarin yang disiarkan langsung dari studio canggih Al-Jazeera di Doha.
Saluran berbahasa Inggris Al-Jazeera pada tahap awal akan siaran selama 12 jam dan selanjutnya, mulai Januari 2007 rencananya akan siaran selama 24 jam. Saluran berbahasa Inggris ini akan diawali dengan program-program berita berisi laporan dari Gaza, Darfur, Tehran, China dan Brazil.
Siaran-siaran berbahasa Inggris Al-Jazeera akan dipancarkan langsung dari studio Al-Jazeera di Doha, Kuala Lumpur, London dan Washington DC dengan 20 kantor di berbagai negara dan 800 pegawai yang berasal dari 55 kebangsaan yang berbeda-beda termasuk dua wartawan berkebangsaan Israel yang meliput di wilayah Israel.
Yang paling terkenal di antara para tokoh Al-Jazeera adalah wartawan veteran BBC Sir David Frost, satu-satunya orang telah mewawancarai paling tidak tujuh presiden AS dan enam perdana menteri Inggris.
Saluran berbahasa Inggris- yang berada di bawah payung Al-Jazeera Internasional- bisa dinikmati melalui tv kabel dan satelit dan diharapkan mampu meraih 80 juta pemirsa terutama di wilayah Asia, Afrika dan Eropa.
Untuk wilayah AS, Al-Jazeera belum bisa dinikmati melalui tv kabel paling tidak dalam satu tahun ini karena AS ternyata belum memberikan izin bagi Al-Jazeera untuk masuk dalam jaringan tv kabel AS.
Sumber Infromasi Alternatif
Al-Jazeera mengawali siarannya pada 1996. Sebagian besar staff diambil dari para staff siaran bahasa Arab stasiun televisi BBC. Sejak siaran pertamanya, Al-Jazeera dengan cepat mendapat simpati dari penontonnya di seluruh dunia lewat laporan-laporan eksklusif invasi AS ke Afghanistan pada akhir tahun 2001.
Al-Jazeera cepat mendapat tempat di hati pemirsanya karena mengusung jurnalisme yang jujur, melaporkan peristiwa apa adanya, program yang berkualitas, independen dan tidak segan-segan mengangkat isu-isu yang dianggap tabu.
Lewat siaran berbahasa Inggris-nya, Al-Jazeera ingin memberikan perspektif baru bagi para pemirsa televisi di seluruh dunia, terutama yang mayorits penduduknya berbahasa Inggris, yang mencari sumber-sumber informasi alternatif selain CNN dan BBC.
"Meluncurkan saluran berbahasa Inggris menawarkan kesempatan untuk meraih pemirsa-pemirsa baru yang sudah biasa mendengar nama Al-Jazeera tapi tidak bisa menyaksikannya atau tidak memahami bahasanya," kata Direktur Umum jaringan televisi Al-Jazeera, Wadah Khanfar.
"Salah satu tujuan kami adalah mengarahkan arus informasi ke selatan," ujar Khanfar seraya menambahkan bahwa Timur Tengah dan negara-negara berkembang belum memiliki ruang untuk menyuarakan suaranya sendiri.
Kuala Lumpur menjadi kantor pusat regional Al-Jazeera di Asia, dengan potensi pasar mencapai tiga milyar pemirsa dan 2/3 nya adalah Muslim.
"Asia sedang tumbuh dan minat akan informasi sangat kuat. Asia adalah pasar yang besar. India, Pakistan, China dan sepuluh negara ASEAN merupakan pasar besar yang potensial," kata Allan William, editor Asia-Pasific Broadcating Union (ABU).
Saluran berbahasa Inggris Al-Jazeera akan dipimpin oleh seorang warga negara Inggris, Nigel Parsons, yang pernah bekerja di BBC. Sebagai direktur, Parsons menyatakan optimis akan meraih sukses di Asia.
"Kami ingin memberikan tayangan alternatif. Kami ingin membawa perspektif berbeda. Kuala Lumpur adalah pusat siaran yang penting. Kami ingin melihat dunia dari perspektif orang-orang Asia," ujarnya.
Kebijakan Editorial
Dengan lahirnya Al-Jazeera berbahasa Inggris, jaringan televisi Al-Jazeera bukannya tidak sadar akan sensitifnya sejumlah kata-kata yang kontroversial bagi pemirsanya di Barat.
"Pemirsa Al-Jazeera yang berbahasa Inggris berbeda dengan pemirsa jaringan televisi kami (yang berbahasa Arab)," kata Pemimpin Redaksi Al-Jazeera, Ahmad al-Syeikh awal bulan November kemarin.
"Tapi kami akan mengkordinasikan kebijakan editorial kami melalui rapat berkala untuk mencapai kesepakatan di antara kami tentang istilah-istilah yang kontroversial seperti kata ‘martir’, ‘terorisme’ dan ‘perlawanan’ dalam liputan konflik regional," jelasnya.
Al-Jazeera berusaha untuk memberikan informasi yang berimbang pada pemirsanya. Saluran berbahsa Inggris sudah menayangkan wawancara dengan biro politik Hamas, Khaled Meshaal dan selanjutnya juga akan menayangkan wawancara dengan Deputi Perdana Menteri Israel, Shimon Peres.
Namun sikap Al-Jazeera yang berusaha berimbang dan menyampaikan sesuai fakta di lapangan, seringkali membuat para pemimpin di negara-negara Barat dan Arab marah.
AS sempat menuding Al-Jazeera sebagai corong para ekstrimis terutama di Irak sehingga AS melarang Al-Jazeera menyampaikan laporan-laporan dari Irak sejak tahun 2004.
Surat kabar Inggris, Daily Mirror bahkan sempat memuat berita tentang memo dengan status "Top Secret" dari kantor PM Inggris tertanggal 22 November 2004 yang isinya menyebutkan bahwa Presiden AS, George W. Bush merencanakan membom Al-Jazeera dalam pembicaraanya dengan PM Inggris, Tony Blair. (ln/iol)