Rumah Sakit Juga Harus Punya Etika Melayani Pasien Muslim

Para muslimah kadang menghadapi situasi yang dilematis saat harus berurusan dengan perawatan di rumah sakit. Terutama ketika mereka harus ditangani oleh petugas medis atau dokter laki-laki, karena mereka tidak mau membuka aurat, tidak mau disentuh oleh laki-laki yang bukan dari anggota keluarganya sendiri, tidak mau hanya berduaan dengan dokter atau petugas medis dalam ruang pemeriksaan, meski semua itu dilakukan untuk keperluan pemeriksaan medis.

Situasi ini masih sering terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim seperti di Indonesia, apalagi di negara-negara non-Muslim. Kaum perempuan maupun lelaki Muslim dan petugas medis di rumah sakit sendiri, sama-sama menghadapi situasi yang dilematis ini. Lantas apa yang harus dilakukan seorang dokter atau perawat, maupun rumah sakit untuk mengakomodasi kebutuhan pasien-pasien yang Muslim, terutama jika mereka menjumpai pasien yang memegang teguh ajaran Islam?

The Journal of Medical Ethics yang terbit hari Senin (1/11) mengangkat persoalan yang kerap terjadi di rumah-rumah sakit ketika menangani pasien Muslim ini. Dr. Aasim I. Padela, dokter unit gawat darurat dari Universitas Michigan dalam jurnal tersebut memberikan sejumlah rekomendasi untuk mengakomodasi pasien Muslim tanpa harus mengganggu sistem layanan kesehatan yang sudah berlaku secara umum di rumah sakit atau institusi kesehatan lainnya.

Dalam artikel yang ditulisnya, Padela menjelaskan konsep ajaran Islam tentang pentingnya seorang muslim menjaga auratnya. "Meskipun ketaatan setiap muslim berbeda-beda, tapi secara menyeluruh mereka sangat menjaga etika ketika berinteraksi dengan lawan jenis. Bukan hanya perempuan muslim yang kadang enggan ditangani oleh dokter atau petugas medis laki-laki, lelaki muslim pun kadang enggan ditangani oleh dokter atau petugas medis perempuan," tulis Padela.

"Tapi jangan disalahpahami–saya tidak menyarankan agar ada pemisahan fasilitas kesehatan untuk pasien lelaki dan untuk pasien perempan seperti yang dilakukan di banyak rumah sakit di negara-negara muslim. Akan lebih baik menanyakan pada pasien muslim ‘cara seperti apa yang bisa saya lakukan untuk membuat Anda lebih nyaman?’" saran Padela, dokter muslim yang menghabiskan banyak waktunya melakukan riset tentang etika medis dalam Islam.

Padela mengungkapkan pengalamannya ketika menghadapi seorang muslimah yang menolak ditangani oleh dokter laki-laki, padahal ketika itu tidak ada dokter perempuan yang bertugas. Padela akhirnya meyakinkan muslimah tersebut agar bersedia diperiksa dengan dokter laki-laki tadi, dan ia memberitahukan bahwa dokter itu akan mengenakan sarung tangan agar tidak terjadi sentuhan langsung antara kulit.

Tidak semua dokter yang telaten dalam berkomunikasi dengan pasiennya. Dokter Joseph Betancourt, dokter internis yang juga direktur pendidikan multikultur di Massachusetts General Hospital mengatakan, kadang ada dokter yang beralasan tidak punya banyak waktu untuk melakukan "evaluasi antropologi" terhadap pasiennya.

Di sisi lain Dokter Betancourt mengingatkan, pada praktenya komunitas Muslim itu beragam dan petugas medis harus sensitif, tidak menyamaratakan atau membuat asumsi sendiri tentang ajaran agama dan keyakinan para pasien. Tapi, akan sangat membantu jika seorang dokter memiliki pengetahuan tentang tradisi Muslim. "Jika memiliki pengetahuan, justru akan memperbaiki komunikasi dan akan menghemat waktu," ujar Dokter Betancourt.

Dokter Naureen Zafar, direktur Media Clinic di Harlem Hospital Center mengungkapkan, dari riset yang pernah dilakukannya, mayoritas muslimah enggan melakukan pemeriksaan kesehatan dan baru ke mencari bantuan medis jika sakitnya sudah parah. "Mereka bahkan tidak mau memberikan keterangan yang bersifat pribadi tentang penyakitnya pada petugas medis laki-laki yang dianggap orang asing oleh mereka," kata Dokter Zafar.

Muslimah yang sedang hamil, tambah Dokter Zafar, lebih suka memeriksakan diri ke dokter perempuan dan lebih memilih dokter perempuan saat persalinan, meski permintaan itu tidak selalu bisa diakomodasi oleh pihak rumah sakit, yang memang banyak melayani pasien Muslim.

"Situasinya tergantung pada siapa dokter yang siap dipanggil saat pasien melahirkan," ujar Dokter Zafar.

"Islam membolehkan pengecualian jika situasinnya antara hidup dan mati," tukasnya.

Di Amerika, sudah banyak pusat layanan kesehatan dan rumah sakit yang sudah mengakomodasi kebutuhan para pasien muslim. Franklin Hospital di Long Island misalnya, menawarkan makan halal bagi para pasien muslimnya.

Lebih lanjut Dokter Padela merekomendasikan agar rumah sakit-rumah sakit membuat semacam daftar pertanyaan tentang apa yang dingingkan pasien terkait keyakinan agama dan nilai-nilai yang mereka anut. Rumah sakit juga disarankan menyedikan pakaian khusus atau memberikan keleluasaan pada pasien untuk mengenakan bajunya sendiri saat menjalani pemeriksaan atau perawatan.

"Sistem kesehatan yang ada mungkin tidak selalu bisa memenuhi permintaan pasien, tapi setidaknya pasien harus diberi penjelasan apa yang bisa dilakukan institusi layanan kesehatan dan apa batas-batasnya. Sehingga pasien merasa diperhatikan dan keinginannya didengar, daripada mengatakan ‘Anda berada di rumah sakit saya, dan beginilah cara kami bekerja’," jelas Dokter Padela. (ln/NYT)