“Tampaknya para pejabat tidak tertarik untuk berbicara kepada kami sama sekali,” kata seorang guru yang meminta namanya dirahasiakan, dikutip dari South China Morning Post, Minggu (9/12/2018).
Dalam upaya menyelamatkan sekolah agar tak jadi ditutup, pekan lalu para guru menbuat petisi berisi lebih dari 1.000 tanda tangan yang kemudian dikirim dinas pendidikan kota.
“Siswa kami semuanya berasal dari keluarga sangat miskin. Dengan sekolah bahasa, banyak lulusan kami mendapat pekerjaan seperti menjadi penerjemah untuk para pedagang Timur Tengah yang berbisnis di provinsi-provinsi seperti Guangdong. Jika sekolah ditutup, mereka pasti putus sekolah,” kata guru itu.
Kebijakan menutup sekolah-sekolah bahasa Arab merupakan dampak dari ditingkatkannya kontrol atas wilayah-wilayah berpenduduk muslim terbesar oleh pemerintahan China.
Presiden Xi Jinping ingin kalangan keagamaan, termasuk Budha dan Kristen, membaur dengan nilai-nilai budaya sosialis. Dorongan ini merupakan dampak dari kekhawatiran pemerintah atas perkembangan agama Islam dan Kristen.
Jumlah penganut Islam di China tak lebih dari 2 persen dari populasi China atau sekitar 22 juta orang. Ada 10 kelompok etnis yang didominasi muslim, di antaranya Hui, kelompok etnis yang terkait erat dengan mayoritas penduduk Han. Sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah otonomi Ningxia Hui serta provinsi Gansu, Qinghai, dan Yunnan.
Selain itu, suku lain yang penduduknya menganut Islam adalah Uighur. Kelompok yang tinggal di Xinjiang ini menggunakan bahasa Turki. Berbeda dengan Uighur, muslim Hui lebih beruntung karena dapat menikmati kebebasan beragama. Mereka diperbolehkan mengenakan topi putih dan jilbab layaknya muslim.
Pemerintah Xinjiang mengontrol ketat muslim Uighur, termasuk mengawasi orang asing yang berkunjung ke wilayah mereka. Panel HAM PBB baru-baru ini merilis laporan bahwa China menahan lebih dari 1 juta muslim Uighur di kamp-kamp. [inw]