Masyarakat Inggris yang mengklaim liberal dan demokratis ternyata belum bisa sepenuhnya menerima orang yang "tampil beda", termasuk menerima para muslimah yang mengenakan jilbab.
Menurut Irene Zempi, situasi ini mengkhawatirkan dan menjadi salah satu penyebab munculnya sikap Islamofobia yang kuat di kalangan masyarakat Barat, tak terkecuali di Inggris.
Irene Zempi adalah mahasiswa yang sedang mengambil gelar Ph.D di Universitas Leicester, dan ia melakukan riset tentang Islamofobia, khususnya pengalaman para muslimah berjilbab di Inggris yang menjadi korban Islamofobia, sebagai bahan tesisnya.
Zempi akan mempresentasikan hasil risetnya secara lengkap pada publik di Universitas Leicester, Rabu (6/4). Ia melakukan risetnya dengan mewawancara muslimah-muslimah berjilbab di Inggris dari kalangan imigran asal Pakistan, Banglades dan India, serta para muslimah keturunan Timur Tengah, Afrika, dan sejumlah perempuan asli Inggris yang masuk Islam.
"Studi yang saya lakukan adalah menggali pengalaman para muslim berjilbab untuk meningkatkan kesadaran tentang apa sebenarnya akar persoalan Islamofobia yang mereka alami, serta konsekuensi dari perlakuan semena-mena dan intimidasi yang dialami oleh muslimah berjilbab dan komunitas Muslim," ujar Zempi.
Ia melanjutkan, "Sungguh mengkhawatirkan, masyarakat yang demokratis dan liberal seperti masyarakat Inggris ini, menerima Islamofobia.Sangat perlu ditegaskan bahwa Islamofobia adalah bentuk batuk dari rasisme."
"Baroness (gelar bangsawan Inggris) Warsi dalam ceramahnya di Universitas Leicester pernah menyinggung tentang ‘kanker Islamofobia’ di Inggris. Ia mengatakan, ketika orang bertemu dengan lelaki berjanggut di kereta bawah tanah, mereka pasti berpikir orang itu ‘teroris’. Ketika mereka mendengar kata ‘halal’, mereka berpikir kata itu seolah-olah berbunyi ‘makanan terkontaminasi’. Dan ketika mereka melihat perempuan berjilbab di jalan, mereka secara otomatis berpikir bahwa perempuan itu tertindas," papar Zempi menirukan pernyataan Warsi.
Yang dimaksud Warsi adalah Sayyeda Hussein Warsi, seorang advokat, politisi, dan muslim Inggris ketiga yang masuk dalam jajaran mentri kabinet perdana menteri Inggris.
Dari hasil risetnya, Zempi mencatat beragam ekspresi Islamofobia masyarakat Inggris jika mereka bertemu dengan seorang muslim atau muslimah berjilbab di jalan, di pusat perbelanjaan, terminal bis maupun di kereta.
"Mereka memandang dengan penuh curiga, meludahi, melempar telur atau batu, menarik jilbab, dan melontarkan sebutan rasis, merupakan tindakan anti-Muslim yang kerap dilakukan sebagian masyarakat Inggris. Tapi tindakan semacam itu jarang dilaporkan ke polisi. Akibatnya, berapa banyak muslim yang sudah menjadi korban tetap tidak diketahui oleh polisi atau otoritas lokal," tukas Zempi.
Zempi, dalam presentasinya Rabu besok, bukan hanya akan membeberkan kasus-kasus Islamofobia yang menimpa muslimah berjilbab di Inggris. Ia juga akan merekomendasikan cara untuk meningkatkan pelayanan serta bantuan bagi para muslimah yang menjadi korban Islamofobia. (ln/IW)