Sekitar 25 ribu anak-anak di Pakistan, hidup di jalan di kota-kota besar di negara yang terletak di Asia Selatan itu. Anak-anak jalanan itu mengaku lebih senang hidup menggelandang daripada kembali ke rumah dengan berbagai alasan.
Rehan, misalnya, tidak tahu lagi di mana orang tuanya dan mengatakan tidak mau kembali ke rumah. "Tidak ada apapun buat saya, kecuali siksaan fisik dan mental" katanya memberi alasan mengapa ia tidak mau kembali ke keluarganya.
Rehan yang masih berusia 12 tahun itu mengaku lari dari rumah dan sudah dua tahun hidup di jalan di kawasan kota pelabuhan sebelah selatan Karachi.
"Ayah saya hanya menginginkan saya bekerja di sebuah bengkel motor, di bengkel itu saya mengalami beberapa kali pelecehan seksual, " tuturnya.
Untuk bertahan hidup, Rehan menjadi pemulung yang hasilnya ia jual ke pabrik daur ulang. Ia bekerja salama 14 jam setiap harinya, dengan pendapatan yang tidak tentu. "Kadang satu hari saya dapat 150 rupee (kurang dari 3 dollar), esok harinya cuma 100 rupee. Tidak tentu, " ujar Rehan.
Lain lagi dengan Umar Ali, 13, yang sudah menggelandang selama empat tahun. Ia kabur dari rumah karena tidak tahan dengan desakan orang tuanya agar ia segera mencari kerja. Ali tidak terlalu merisaukan bagaimana ia bisa makan, karena ia mencari uang agar bisa membeli obat-obatan terlarang.
"Banyak hotel-hotel kecil dan restoran yang memberikan kami makanan, jadi, makan bukan masalah bagi kami. Kami mencari uang bukan untuk hidup, tapi untuk membeli obat-obatan terlarang, " kata Ali.
Tapi bagi Azhar, 18, yang sudah hidup menggelandang sejak usia 10 tahun, sangat mudah mendapatkan obat-obatan terlarang itu. Ia mengaku sering diberi charas-semacam hashis buatan khas India dan Pakistan- dari para seniornya. Sebagai imbalannya, Azhar bersedia melakukan hubungan sex dengan seniornya itu.
Nasib Azhar, asal kota Korangi, kawasan kumuh di Karachi, memang suram. Kedua orang tuanya tewas dibunuh oleh kakak laki-lakinya. Sejak itu ia hidup di jalan dan mulai menghisap charas.
Rentan Jadi Korban Eksploitasi Seks
Menurut laporan Badan PBB yang membidangi masalah obat-obatan terlarang dan kejahatan di kalangan anak-anak (UNODC), 72 persen anak-anak jalanan tidak mau berhubungan dengan keluarganya meski mereka tahu di mana keluarganya berada.
Mereka biasanya berasal dari keluarga-keluarga miskin, tidur di jalan-jalan dan tempat-tempat parkir setelah seharian bekerja atau menjadi tukang minta-minta.
Para sosiolog mengatakan, anak-anak itu memilih hidup di jalan sebagai akibat dari kondisi sosial yang kacau, kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga yang berantakan.
"Urbanisasi dan penurunan kualitas lingkungan telah menyebabkan perpindahan manusia dari daerah pedalaman ke kota-kota. Situasi ini menimbulkan tekanan sosial dan terpecah belahnya struktur kekeluargaan. Hal inilah yang memicu makin meningkatnya anak-anak jalanan, " papar Profesor Fateh Muhammad, dari fakultas sosiologi Universitas Karachi.
Dr Tariq Muhammad dari Jinnah Postgraduate Medical Center mengingatkan bahwa anak-anak jalanan rentan akan perlakuan penyimpangan seks.
Hal tersebut diakui Aqsa Navi dari Azad Foundation. "Mereka ada yang tidak mau bekerja, kebanyakan menjadi tukang copet atau menjadi penjaja seks untuk bertahan hidup, " ujarnya.
Azad Foundation memperkirakan, sekitar 14 ribu anak jalanan yang ada di Karachi, setengahnya menjadi korban eksploitasi sex. Anak-anak itu banyak yang terkena penyakit menular akibat hubungan sex menyimpang.
Anak-anak jalanan di Pakistan tidak menampik hal itu. Mereka mengaku ketakutan jika malam tiba. Karena pada saat itulah mereka kadang menjadi korban penyimpangan seks para sopir taxi bahkan aparat polisi. "Kadang saya bisa menyelamatkan diri, kadang tidak, " kata seorang anak jalanan. (ln/iol)