Hanya satu pekan setelah pemilu, dengan dihiasi ribuan orang yang melakukan protes termasuk kesebelasan sepakbolanya yang tengah bertanding di kualifikasi Pra-Piala Dunia 2010 dengan mengenakan pita dan wristband hijau, Iran sepertinya tengah bergerak menuju revolusi yang lain. Lima hari kemudian, gelombangnya sudah tidak lagi hanya berbentuk protes simbolis, namun protes ini diredam oleh Kesatuan Keamanan Revolusi Iran. Efek domino yang lain: revolusi sesungguhnya yang terjadi berjalan dalam sunyi—sesuatu yang tak begitu diperhatikan oleh dunia internasional.
Benih revolusi ini—The New York Times menyebutnya sebagai kudeta diam-diam—sudah ada sejak empat tahun yang lalu. Dalam periode paling dramatis Iran sejak revolusi 1979, negara ini telah berganti dari sebuah negara theokrasi menjadi negara militer. Pertentangan pemerintah Iran dengan para ulama di negaranya bukan sesuatu yang baru, namun kemampuan Ahmadinejad dalam menaikkan derajat dan martabat Iran dalam kelas politik yang berbeda menyembunyikan kenyataan sesuatu yang terjadi di Iran.
Ahmadinejad mengapitalisasi potensinya ini untuk konsolidasi kekuasaan dan mempromosikan kerabatnya. 14 dari 21 orang menteri dalam kabinetnya adalah mantan pengawalnya, Basij. Beberapa, di antaranya adalah menteri pertahanan Mostafa Mohammad Najjar, adalah veteran perang pada operasi-operasi tahun 1980-an. Tak pelak, Ahmadinejad, tanpa banyak orang yang tahu dan sadari, membangun pemerintahannya lewat militer—gubernur provinsi, komisaris pers, sutradara film, pejabat intelijen dan pemimpin bisnis secara keseluruhan adalah mantan tentara. Para elit militer mengendalikan bidang ekonomi, dan Basij mempunyai hak dalam penguasaan minyak, atau melalui perusahaan penggantinya seperti Khatam al Anbiya, yang mendominasi seluruh Iran.
Secara teknis, pucuk pimpinan di Iran tetaplah berada di tangan Ayatollah Khamenei, dengan 12 Imam Besar-nya. Khomenei-lah yang berada di belakang Ahmadinejad selama ini dengan membangun pencitraan “lelaki di tengah rakyatnya, tulus, dengan gaya hidup yang sederhana.” Mengapa gerangan Khomenei sampai harus dengan sengaja mengorbankan keulamaannya? Jawabannya: eksistensi. Jauh sebelum isyu penyerangan Israel dan Amerika yang tak pernah terjadi sejak tahun 2005—berarti sudah empat tahun lebih!—para pemimpin di Iran sudah memperingatkan Khomenei bahwa ancaman yang sesungguhnya bagi kelangsungan Iran saat ini adalah “kebijakan pergantian rejim yang halus”—editorial Kayhan, harian Iran menggambarkannya bak "revolusi oranye."
Dibayang-bayangi isyu kekuatan AS di Iraq dan Afghanistan, dan sebagian rakyat yang tak lagi diam, Khomenei tampaknya tengah menghadapi sebuah sistem yang tengah menelikung. Kenyataannya, Khomenei berulang-ulang menegaskan bahwa ia bersedia mengendurkan “revolusi Iran”. Lepas dari semua kejadian yang tengah berlangsung di Iran, ditambah kekacauan yang direcoki pihak asing, orang-orang yang memprotes kemenangan Ahmadinejad, dan hanya bisa dihentikan oleh Pengawal Revolusi dan Basij.
Sejauh mana kemudian Iran akan melibatkan pihak asing dalam hal? Menilai dari pemberitaan media bahwa Ahmadinejad tidak pernah menjalin kerja sama dengan AS dan Barat, maka kemungkinan besar ia akan menutup pintu untuk itu. Sedangkan kecenderungan dari negara-negara Arab dan Timur Tengah—terutama karena ditentukan oleh penguasanya seperti Arab Saudi, Pakistan atau Afghanistan—ketika kondisi berubah chaos, mereka selalu lari mencari bantua pada AS, sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu dan diharapkan oleh AS, tentunya.
Jika Ahmadinejad melakukan hal ini, maka para pendukungnya tentunya akan merasa kecewa dan stress berat. Sementara sebagian rakyat Iran berada dalam tekanan, dan melakukan aksi revolusi yang hanya paling mungkin dilakukan setidak-tidaknya dalam waktu lima tahun ke depan, revolusi diam-diam dalam kesunyian. (sa/thenewyorktimes)