Sejumlah diplomat dan analis mengaku pesimis, resolusi PBB yang sedang dibahas saat ini bisa menghentikan pertikaian antara Israel dan Hizbullah di Libanon. Mereka khawatir, resolusi itu sudah sangat terlambat dan akan menimbulkan resiko ketidakstabilan pemerintahan Libanon, apalagi jika resolusi itu lebih berpihak pada Israel.
"Kelihatannya tidak terlalu bagus. Saat ini, tak seorangpun yang tertarik untuk menghentikan pertikaian. Hizbullah tidak punya alasan untuk berhenti. Ketidaksesuai antara apa yang sedang dibahas di meja diplomatik dengan apa yang terjadi di lapangan sangat jauh berbeda," kata seorang diplomat Eropa.
Dalam pernyataannya hari Minggu kemarin, Menlu AS Condoleeza Rice mengatakan, begitu resolusi tercapai akan jelas terlihat siapa yang mau berdamai dan siapa yang tidak. Dari pernyatannya itu, Rice seolah-olah ingin mengatakan bahwa Israel akan mematuhi gencatan senjata sedangkan Hizbullah tidak.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan, kedua belah pihak kemungkinan tidak akan mengindahkan seruan gencatan senjata. Draft resolusi kemungkinan akan memberi peluang pada Israel untuk meneruskan operasi militernya terhadap Hizbullah dan peluang bagi pasukannya untuk tetap menguasai Libanon selatan. Keraguan bahwa Israel mau melakukan gencatan senjata, terlihat dari sikap PM Israel Ehud Olmert yang terkesan enggan untuk menghentikan serangan meski sudah berlangsung hampir sebulan. Sementara Hizbullah sudah menegaskan tidak mau menerima kesepakatan apapun yang memberi peluang pendudukan Israel di Libanon Selatan.
Selain itu, jika Israel harus menyelamatkan dua tentaranya yang ditawan Hizbullah, alasan itu digunakan Olmert untuk mengambil hati publik Israel bahwa perang yang mereka lakukan adalah langkah yang benar. Di sisi lain, jika Israel menyerahkan wilayah Shebaa farm, wilayah yang dikuasai Israel setelah mundur dari Libanon tahun 2000, secara simbolik hal itu akan menjadi kemenangan Hizbullah. Tetapi kedua persoalan itu tidak disinggung dalam draft resolusi.
Pakar Libanon dari lembaga penelitian Chatham House, Nadim Shehadi adalah salah seorang analis yang pesimis dengan keberhasilan draft yang saat ini sedang dibahas di PBB untuk mengakhiri pertikaian Israel-Libanon. Menurut Shehadi, peluang suksesnya kurang dari 50 persen.
Ia mengatakan, resolusi menawarkan peluang untuk melokalisir konflik, tapi itu semua mungkin sudah amat terlambat. Bahayanya adalah, jika Suriah dan Iran ikut terlibat. Kalau ini yang terjadi, pemerintahan Bush hanya punya dua pilihan; membuat perjanjian dengan Suriah yang merupakan harga tinggi yang harus dibayar AS, atau pilihan lainnya adalah perang.
"Jika ada serangan ke Suriah, Iran akan terlibat karena mereka punya pakta. Ini artinya Irak akan memanas. Apapun di Irak akan seperti ikut memanas jika Iran menyatakan akan membantu gerakan Syiah," ujar Shehadi.
"Ibaratnya, Iran main catur sedangan Amerika main poker. Amerika sejak lama mengancam ‘kami akan menyerang anda’. Tapi apakah itu ancaman di mulut saja atau bukan, inilah saatnya untuk menunjukkan kartu masing-masing," sambungnya.
Profesor ilmu politik di Universitas Hebrew, Yerusalem, Shlomo Avineri menyoroti intervensi Liga Arab yang memberikan dukungan pada Libanon di PBB. Ia berharap intervensi itu akan membawa hasil.
Menurutnya, apa yang terjadi sekarang menunjukkan pengaruh Hizbullah yang kuat bahkan melebihi pengaruh pemerintah Libanon sendiri. "Saya kira pemerintah Libanon mau menerima draft resolusi, tapi Hizbullah bertahan dengan persyaratannya bahwa gencatan senjata bisa dilakukan setelah tentara AS mundur," ujar Avineri.
Ia mengungkapkan, situasinya mungkin akan berbeda jika Liga Arab memberikan ‘perlindungan’ pada pemerintah Libanon dari kelompok Hizbullah. "Jika Liga Arab memberikan perlindungan itu, langkah pertama, Libanon kemungkinan mau menerima draft resolusi usulan AS-Perancis dan mungkin akan ada kemajuan," imbuhnya.
Aveneri menambahkan, sebagian besar publik Israel masih mendukung kebijakan perang pemerintahnya, tapi mereka juga mengharapkan hasil yang positif dari perang itu. Untuk memenuhi harapan publiknya, Israel harus mendorong dibentuknya pasukan internasional dan tidak menerima ultimatum Hizbullah.
"Pemerintah Israel harus merespon apa yang sekarang telah membuat publik Israel marah, mereka ingin mendapatkan hasil perang itu," kata Avineri. (ln/guardian)