Selain Hasan, Mohammad Fahid (15 tahun) pun merasakan hal serupa. Di kamp pengungsian, dia sering mendapati dirinya melihat foto dan video lama di ponselnya. Dia mengaku dengan melihat itu, dia semakin merindukan teman-temannya yang sudah hilang dan dia merindukan sekolah.
“Saya sering menghabiskan waktu dengan tertawa-tawa bersama teman-teman, tetapi kini tidak bisa lagi melakukannya. Kami biasa pergi ke sekolah bersama, sekarang tidak bisa. Itu sebabnya saya menyimpan foto-foto ini, untuk mengingatnya,” kenang Fahid.
Tidak hanya kenangan baik, kenangan buruk pun juga turut terekam dalam ponsel pengungsi Rohingya, yakni Mujib Ullah. Dia merekam kejadian saat pasukan menyerang desanya dan bagaimana warga dengan panik mencoba memadamkan api yang dibuat para tentara.
Dalam gambar yang ada di ponselnya, terlihat penduduk desa menggunakan ember berisi air dan pasir untuk mencoba memadamkan api. Tetapi api yang membakar rumah-rumah mereka terus menyala.
“Setelah membakar desa kami, tentara mulai menembaki kerumunan warga. Beberapa orang mampu menyelamatkan diri, namun yang lain tidak bisa. Adikku juga tidak bisa melarikan diri, karena peluru tentara bersarang di tubuhnya,” cerita Ullah.
Sebagaimana diketahui, sekitar 630.000 warga muslim Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh untuk membebaskan diri dari pasukan keamanan. Pemerintah setempat menolak kelompok minoritas Rohingya sebagai warga mereka, meski telah tinggal di negara tersebut selama beberapa generasi.
Pemerintah melucuti kewarganegaraan penduduk Rohingya dan merampas semua hak mereka di negaranya sendiri. Hal itu membuat warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.(kl/mdk)