Referendum: Proyek Penghancuran Barat Terhadap Sudan

Rakyat Sudan Selatan mulai memberikan suaranya ke kotak-kotak suara, hari Minggu kemarin. Di mana  Sudan Selatan berlangsung referendum, selama sepekan. Untuk menentukan sikap rakyat di wilayah itu, apakah masih akan tetap bergabung dengan Utara, atau memisahkan diri.

Persoalan yang bakal muncul, usai referendum nanti akan muncul persoalan-persoalan yang lebih kritis, terutama  tentang perdamaian dan pembangunan yang berkelanjutan di wilayah itu. Wilayah yang miskin dan tetapi kaya sumber mineral ini, berlangsung konflik yang panjang, dan kemudian di skenariokan, memisahkan diri oleh kekuatan Barat, melalui sebuah referendum. Ini menjadi proyek mereka, yang sekarang ini sedang berlangsung.

Konflik di Sudan Selatan, tak dapat dipisahkan dari campur tangan asing, yang mensuplai para pemberontak di Selatan, yang membuat milisi dan menjadi kekuatan militer, SPLA, yang dipimpin oleh John Garang. Konflik yang panjang inilah yang menyebabkan campur tangan Amerika Serikat, tokoh-tokoh internasional, Uni Afrika, PBB, dan Liga Arab.

Sekarang di ibukota Sudan Selatan, Juba, dipenuhi oleh  berbagai tokoh dan pemimpin dunia berada di kota yang sangat kumuh itu. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Tujuannnya hanya satu memastikan, agar Sudan Selatan terlepas dari Utara, dan merdeka. Kemudian para pemimpin Barat itu, menyaksikan berpisahnya Sudan Utara dengan Selatan yang kaya sumber mineral.

Sebelumnya,  Senator John Carry, ketua komite luar negeri Senat AS telah berkunjung ke Juba, dan sekarang lebih 100 orang tim pemantau dari AS dan berbagai negara Eropa untuk memastikan referendum berjalan dan rakyat di Selatan memisahkan diri dengan Utara. Mantan Presiden AS, JimmyCarter, yang memimpin The Carter Center telah berada di Juba, menyaksikan para pemilih yang menunju ke kotak-kota suara.

Sebelumnya, ada kekhawatiran yang luas tentang potensi konflik kekerasan dan penolakan dari pemerintah Sudan di Khartoum.Namun, atmosfer meningkat secara dramatis dalam beberapa pekan terakhir. Para pemimpin baik di Utara dan Selatan telah mengambil langkah positif, termasuk pidato di Juba oleh Presiden Omar al-Bashir di mana ia mengatakan bahwa pemerintah Sudan akan menerima hasilnya, dan akan merayakan hasil bersama dengan orang-orang Sudan Selatan.

Referendum tentang penentuan nasib sendiri adalah salah satu langkah kunci dalam Perjanjian Perdamaian Komprehensif 2005, yang mengakhiri perang sipil, yang berlangsung selama 22 tahun yang menyebabkan lebih dari 2 juta kematian dan pengungsi 4 juta.

Proyek ini akan sukses dengan adanya campur tangan PBB dan Amerika, yang dibelakangnya adalah Israel, yang menginginkan terpecah-pecahnya Sudan, yang merupakan negara yang paling di daratan Afrika, dan memiliki kakayaan sumber daya alam yang sangat luar biasa. Inilah yang dituju pengkotak-kotakan Sudan menjadi dua negara oleh Amerika.

Proyek memisahkan antara Sudan Utara dengan Selatan, diawali ketika Sudan dipimpin Jendral Ja’far Numaeri, yang mendeklrasikan syariah Islam berlaku di seluruh Sudan, dan kemudian Selatan yang penduduknya sebagian beragama Kristen (hanya 4 %), dan sejatinya penduduk Selatan penganut animisme.

Tetapi, Barat mencangkokkan para pemimpin Kristen seperti John Garang, yang dengan bantuan senjata, melakukan pembrontakan, melawan Utara yang Islam. Inilah proyek Barat yang mengerat-ngerat negeri-negeri Islam.(m/cnn)