Laporan mengenai banyaknya warga sipil yang tewas akibat serangan AS ke Somalia belum lama ini, disampaikan anggota parlemen dan sejumlah organisasi bantuan.
Anggota Parlemen Somalia, Abdulgadir Haji pada surat kabar Independent mengungkapkan, jumlah korban sipil yang tewas sampai saat ini mencapai 150 orang. Angka ini kemungkinan akan terus bertambah, karena setiap hari masih masuk laporan tentang para korban.
Banyaknya warga sipil yang tewas akibat serangan AS, dibenarkan oleh pemuka adat setempat Syaikh Abdullahi Ali Malabon dari distrik Afmadow. "Kami sudah mengirim sebuah tim untuk mencari tahu tentang korban yang jatuh, mereka mengkonfirmasikan lebih dari 100 orang terbunuh, " katanya.
"Banyak korban lainnya yang mengalami luka-luka, tapi kami belum tahu jumlah pastinya, " sambung Abdullahi Ali pada AFP.
Sementara itu, lembaga bantuan Oxfam yang berbasis di London menyatakan, yang menjadi korban target serangan AS adalah warga sipil yang hidup nomaden, dan bukan anggota al-Qaidah.
"Menurut laporan-laporan dari organisasi-organisasi lokal di distrik Afmadow, bom-bom menghancurkan fasilitas vital berupa sumber-sumber air dan sekelompok besar suku pengembara beserta hewan ternak mereka. Laporan lainnya juga mengkonfirmasikan bahwa pemboman itu telah menewaskan sedikitnya 70 orang di distrik itu, " demikian laporan Oxfam.
Meski demikian, para pejabat AS nampaknya enggan mengakui bahwa serangan yang mereka lakukan pada 8 Januari kemarin dengan target anggota al-Qaidah, telah salah sasaran dan yang menjadi korban adalah warga sipil.
Sebelumnya Pentagon mengklaim berhasil membunuh sekitar 8 sampai 10 orang yang diduga anggota al-Qaidah dalam serangan tersebut, termasuk tokoh Fazul Abdullah Muhammad yang diduga terlibat dalam peristiwa pemboman kedubes AS di Nairobi pada 1998.
Tapi soal kematian Fazul dibantah oleh seorang pejabat AS pada AFP yang tidak mau disebut namanya. "Fazul belum mati, " kata pejabat tadi.
Selain Fazul, dua pembantunya, Abu Taiha al-Sudani dan Saleh Ali Saleh Nabhan, diduga ikut tewas dalam serangan AS kemarin. "Tiga target dengan nilai tinggi ini masih menjadi keinginan besar kami, seperti juga anggota al-Qaidah lainnya, " kata pejabat AS tadi.
Washington selama ini menuding Mahkamah Islam Somalia-Supreme Islamic Courts of Somalia (SICS) telah memberikan bantuan tempat bernaung bagi para anggota al-Qaidah. SICS menolak tudingan itu dan menyatakan bahwa tuduhan tersebut hanya sebagai pembenaran bagi AS untuk melakukan intervensi di Somalia. Dan tuduhan SICS tidak jauh meleset, karena AS lewat pasukan Ethiopia belum lama ini menyerang SICS dan mengobrak-abrik pertahanan tentara SICS di Mogadishu dan wilayah-wilayah lainnya di Somalia.
"Amerika menyerang dari udara. Tank-tank Ethiopia datang dari daratan dan perbatasan Kenya ditutup. Warga tidak punya jalan keluar untuk menyelamatkan diri, " kata Syaikh Abdullahi Ali, masih pada surat kabar Independent.
"Ratusan ternak terbunuh dan tak ada bantuan sedikitpun, yang dibolehkan masuk lewat perbatasan. Situasinya sudah seperti neraka, " sambungnya.
Oxfam menyerukan kepedulian terhadap nasib warga sipil Somalia akibat konflik itu. "Masyarakat ini sudah berjuang untuk hidup setelah musim kering yang buruk tahun lalu, kemudian terjadi bencana banjir, " kata Paul Smith-Lomas, direktur regional Oxfam.
Paul Smith meminta agar aturan internasional ditegakkan untuk tidak menjadikan warga sipil sebagai target serangan dalam sebuah konflik. Menurut data Oxfam, sekitar 70 ribu warga Somalia kini mengungsi, sejak pecah konflik akhir Desember kemarin. Kondisi ini memperburuk kondisi kemanusiaan di negara di kawasan benua hitam itu. (ln/iol)