Sebenarnya, saat itu, lapangan terbang itu dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia. Meski demikian, Soeharto nampak tenang dan tidak ada rasa takut.
“Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” tutur Sjafrie.
Rombongan Soeharto harus melewati Sniper Valley, yaitu sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia-Herzegovina. Pemimpin orde baru itu, menaiki panser VAB yang sudah disediakan Pasukan PBB.
Setelah sampai di Istana Presiden, keadaannya sangat memprihatinkan. Bahkan sekadar air yang mengalir pun tidak ada. Untuk mendapatkan air bersih harus diambil dengan ember. Sarajevo porak-poranda usai dikepung dan diserang Serbia.
Sementara itu, Presiden Bosnia-Herzegovina, Alija Izetbegovic menyambut hangat kedatangan rombongan Soeharto. Alija benar-benar bahagia Soeharto benar-benar berkunjung.
Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Bahkan sampai bertarung nyawa.
“Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok,” jawab Soeharto.
Berselang 22 tahun kemudian, pada November 2017 lalu, Pengadilan PBB menyatakan mantan komandan militer Serbia Bosnia Ratko Mladic terbukti melakukan kejahatan dan pembantaian terhadap kemanusiaan dalam pembantaian dan pembersihan etnis di perang Bosnia.
Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepadanya.
Persidangan Mladic berlangsung selama 530 hari atau dalam kurun waktu lebih dari empat tahun. Setelah buron hampir 16 tahun, Mladic ditangkap di Serbia utara pada Mei 2011 dan ia mulai diadili pada tahun 2012. (Ali Mansur)
Sumber: Buku Pak Harto The Untold Stories (Mahpudi, Bakarudin, Dwitri Walyu, Donna Sita Indria, Anita Dewi Ambarsari), Dokumen ICTY, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (DR. Raghib As-Sirjani), Khazanah Republika, The Guardian.