Padahal dua hari sebelum, kunjungan, tanggal 11 Maret 1995 sebuah pesawat utusan PBB ditembak jatuh di atas udara Bosnia. Namun Soeharto tetap /kekeuh/ ingin mengunjungi Sarajevo, meski nyawa taruhannya.
Dalam Buku ‘Pak Harto The Untold Stories’ yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2011, diceritakan awalnya Panglima pasukan PBB di Bosnia tidak mengizinkan Soeharto berkunjung di Sarajevo.
Namun setelah berdebat, PBB mengizinkan Soeharto terbang ke ibu kota Bosnia-Herzegovina tersebut. Syaratnya, Soeharto harus menandatangani surat pernyataan risiko.
Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa Soeharto.
Akhirnya Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina, pada 13 Maret 1995. Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang yang terdiri atas seorang perempuan petugas PBB, serta 14 orang Indonesia.
Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan presiden Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk dua awak media.
Dalam buku itu, Sjafrie mengaku was-was saat Soeharto menolak mengenakan helm, ia lebih memilih mengenakan peci hitam khasnya. Bahkan tidak ingin menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan.
Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. “Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah,” jelas Sjafrie.
Saat mendarat di Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan.