Sebelumnya, tentara Serbia dan JNA melakukan pembantain, dan membakar rumah-rumah di wilayah Bratunac yang juga mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Setidaknya, sebanyak 1.156 warga Bratunac tewas, sementara lainnya dipaksa mengungsi ke Srebrenica, yang merupakan kota kecil yang terletak di ujung timur Bosnia-Hezergovina.
Sebenarnya sejak April 1993, kawasan Sebrenica sebagai wilayah proteksi PBB. Namun Tentara Serbia tidak mengindahkan penetapan PBB tersebut.
Hari-hari mencekam pun terjadi. Pada 4 Juni 1995, para tentara penjaga perdamaian dari PBB tidak dapat mencegah masuknya laskar Republik Srpska Scorpion di bawah komando Mladic.
Pada 6 Juli, pasukan Serbia berhasil memasuki kamp-kamp pengungsian. Akibatnya secara leluasa mereka menganiaya, memperkosa, membunuh dengan kejam, tidak hanya pada laki-laki dan wanita dewasa, anak-anak pun tidak luput dari pemusnahan etnis tersebut.
Laporan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Pecahan Yugoslavia (ICTY) menyampaikan pada 11 Juli 1995 pembantaian dimulai dengan cara memisahkan laki-laki berumur 12-77 tahun.
Hal ini dilakukan agar korban bisa dipisahkan dari para perempuan, orang tua, atau keluarganya.
Para korban dipaksa berbaris di pinggiran lubang yang dijadikan kuburan massal, lalu ditembak satu per satu di bagian belakang kepala. Orang tua, muda, anak-anak bahkan bayi dibantai secara sadis.
Presiden Soeharto Berkunjung
Sebelum peristiwa memilukan itu, pada awal Maret 1995 menjadi hari yang bersejarah bagi hubungan dua bangsa mayoritas Muslim, Indonesia dan Bosnia-Herzegovina.
Presiden RI kedua (alm) Jenderal (purn) Soeharto melakukan misi kontrak mati dengan mengunjungi Sarajevo, memberikan dukungan moril kepada Umat Islam Bosnia.