RAND Corporation, salah satu lembaga think-tank AS yang memberikan jasa informasi pada Pentagon dalam hasil studinya menyimpulkan bahwa AS harus menghentikan"perang melawan teror" nya dan mengubah strateginya dalam melawan terorisme, dari strategi yang mengandalkan kekuatan militer menjadi strategi yang lebih mengandalkan kebijakan dan kerja-kerja intelejen.
"AS sudah seharusnya tidak lagi menggunakan frasa ‘perang melawan terorisme’. Para pelaku terorisme harus dilihat dan disebut sebagai pelaku tindak kriminal, dan bukan disebut sebagai pasukan perang suci. Persoalan ini bukan sekedar masalah bahasa. Istilah yang kita gunakan untuk menjelaskan strategi kita dalam melawan terorisme sangatlah penting, karena hal ini akan mempengaruhi kekuatan apa yang akan digunakan, " papar RAND Corporation dalam hasil studinya yang dirilis Selasa kemarin.
Hasil Studi yang bertajuk "How Terrorist Groups End: Lessons for Countering al-Qaidah" menyarankan agar AS mengubah istilah "War onTeror" yang selama ini mereka gunakan dengan istilah "Counter-Terrorism." Seruan ini juga untuk negara-negara sekutu AS dalam perang melawan terorisme, antara lain Inggris dan Australia.
Presiden AS George W. Bush adalah orang memelopori apa yang disebutnya sebagai "perang global melawan terorisme" pasca insiden serangan 11 September 2001. Pemerintah AS bahkan sampai membuat situs khusus "Perang Melawan Teror. Perang ini dijadikan alasan Bush untuk melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak. Faktanya, yang menjadi target perang melawan terorisme yang dikampanyekan AS adalah negara-negara Muslim dan warga Muslim.
Tak heran jika bagi umat Islam, kampanye perang melawan teror yang dilakukan AS dianggap sebagai perang melawan agama Islam dan bukan perang untuk melawan sekelompok umat Islam yang menganut ideologi yang radikal.
RAND dalam kesimpulannya juga mengatakan bahwa AS sudah gagal dalam menerapkan strategi melawan terorisme dengan mengandalkan kekuatan militer. "AS tidak mampu secara efektif melakukan kampanye melawan terorisme dalam jangka panjang, terutama terhadap kelompok al-Qaidah dan kelompok-kelompok yang oleh AS dianggap kelompok terorisme tanpa memahami bagaimana kelompok terorisme itu akan berakhir, " kata Seth Jones, penulis dari hasil studi yang juga pakar politik.
"Dari sejumlah fakta, kekuatan militer terbukti terlampau tumpul jika digunakan sebagai instrumen untuk melawan kelompok-kelompok terorisme. Kekuatan militer efektif hanya tujuh persen dari kasus-kasus yang diteliti, " sambung Jones.
Para peneliti di RAND meneliti sekitar 648 kelompok yang dianggap sebagai kelompok teroris yang ada dalam kurun waktu antara tahun 1968 dan tahun 2006. Dari jumlah itu, hanya sebagian kecil yang bisa dibasmi dengan menggunakan kekuatan militer. Sebagian kelompok-kelompok teroris mengakhiri kegiatannya dengan ikut serta dalam proses politik atau para anggotanya ditangkap atau dibunuh oleh pihak kepolisian dan lewat operasi-operasi intelejen.
Survey yang sebelumnya dilakukan oleh US Foreign Policy Magazine menunjukkan bahwa mayoritas para pakar AS dan mantan pejabat AS meyakini bahwa AS sudah kalah dalam perang melawan terorisme. (ln/iol)