Rakyat Irak, Jadi Pengungsi di Negeri Sendiri

Penjajahan negara asing, pertikaian antara Muslim Sunni dan Syiah di Irak, membuat kehidupan rakyat Irak porak poranda. Ancaman keamanan dan kesulitan ekonomi, membayangi mereka setiap hari. Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Menurut Iraqi Red Crescent Society IRCS)-satu-satunya organisasi bantuan kemanusiaan yang beroperasi di Irak- sejak peristiwa pemboman tempat suci kaum Syiah di Samarra tanggal 22 Februari 2006, sedikitnya ada 142. 260 keluarga atau sekitar 1 juta lebih rakyat Irak yang terpaksa menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Jumlah pengungsi di Irak terus meningkat, setelah terjadi konflik antara kaum Sunni dan Syiah di Negeri 1001 Malam itu.

"Saat ini, jumlah rakyat Irak yang jadi pengungsi meningkat rata-rata 80 ribu sampai 100 ribu per bulannya, " demikian laporan ICRS tertanggal 5 Juli berdasarkan data sejak Februari 2006 sampai 30 Juni 2007.

Laporan ICRC setebal 25 halaman menyebutkan, pada akhir tahun 2007 ada lebih dari satu juta pengungsi di Irak, di mana 37, 5 persennya adalah anak-anak di bawah usia 12 tahun, 32, 8 persen kaum perempuan dan 29, 7 persen kaum lelaki.

Pengungsi paling banyak berasal dari kota Baghdad dengan jumlah 41. 969 keluarga, urutan kedua adalah pengungsi dari Provinsi Mosul sebanyak 15. 063 keluarga dan jumlah pengungsi terbanyak ketiga berasal dari Provinsi Salahuddin sekitar 12. 781 keluarga.

Al-Tamimi seorang warga Irak terpaksa memboyong keluarganya, mengungsi ke rumah kerabatnya yang kecil di kawasan perkampungan Syiah. "Apa salah saya dalam hidup ini, saya kehilangan pekerjaan, rumah dan impian saya untuk membangun keluarga bahagia punah sudah. Siapa yang harus disalahkan atas semua penderitaan kami ini, " kata al-Tamimi memelas.

Ia menyatakan, hidupnya saat ini dililit banyak hutang karena harus membeli obat untuk isterinya yang punya penyakit kelainan jantung dan untuk anak perempuannya yang menderita asma.

"Saya butuh uang sedikitnya 250 ribu dinar (sekitar 200 dollar AS) tiap bulannya, untuk pengobatan. Saya menjadi penjual korek api dan minuman ringan di jalan, " katanya.

Al-Tamimi adalah satu dari ratusan ribu rakyat Irak yang hidup menderita sebagai pengungsi. Mereka bukan hanya terbatas mendapatkan akses ekonomi, tapi juga akses mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan. Belum lagi masalah tekanan psikologis

"Pendidikan adalah sektor yang terpengaruh oleh gelombang pengungsi ini. Di beberapa wilayah sekolah-sekolah memiliki jumlah siswa yang sangat banyak dalam satu kelas. Sementara materi pendidikan dan alat-alat tulis sangat sukar didapat.

Dari sisi kesehatan, yang paling terpengaruh adalah kaum perempuan dan anak-anak. "Perempuan-perempuan hamil, bayi dan anak-anak, tidak mendapat layanan medis yang layak, aborsi ilegal menjadi hal yang biasa, " demikian laporan ICRS.

Selain itu, banyak pengungsi di Irak yang menderita gangguan psikologis dan beberapa di antara mereka ada yang terjerumus menjadi anggota kelompok bersenjata. "Perkosaan, kelompok gang bersenjata, pencurian dan kecanduan obat-obatan terlarang menjadi hal yang biasa terjadi di kalangan pengungsi, " tulis ICRS.

Selain menjadi pengungsi di negerinya sendiri, banyak rakyat Irak yang menjadi pengungsi ke negara lain seperti Suriah, Yordania, Mesir, Libanon dan Iran. Sama seperti nasib pengungsi di Irak sendiri, mereka juga mengalami persoalan finansial, kesehatan dan akomodasi. Sementara hanya sedikit lembaga kemanusiaan yang membantu mereka. (ln/middleeast-ol)