Tunis, Jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah lembaga survei di Tunsia baru-baru ini menyatakan jika animo masyarakat Tunisia untuk mendengarkan Al-Qur’an pada saluran radio semakin meningkat. Saluran radio ‘Idza’ah az-Zaytunah li al-Qur’an al-Karim" tercatat sebagai saluran yang paling banyak didengar dibanding saluran radio lainnya di negeri itu.
Situs rujukan Islamonline (11/2) melansir, dalam jajak pendapat tersebut, saluran az-Zaitunah mendapatkan suara pemilih sebanyak 12,1 %, yang disusul oleh saluran Mozaik (11,3 %), saluran Pemuda Tunisia, saluran L’International Tunis Francephone,
lalu saluran remi milik negara dengan rata-rata presentase pemilih sebanyak 3,8 %.
Radio Az-Zaitunah sendiri baru mengudara pada medio 2007 lalu atas prakarsa seorang pemuda Muslim bernama Shakhr al-Mathari, yang juga kerabat dekat Presiden Tunisia Zainal Abidin Benali.
Saat ini, radio yang bermarkas di jantung ibukota Tunis ini dikelola oleh Dr. Kamal Imran, professor Sejarah dan Peradaban Islam pada L’Universite Azzeitouna, Tunis, juga oleh as-Syaikh Muhammad Musyaffar, khatib dan imam besar mesjid az-Zaitunah, Dr. Abdurrahman Hafyan, dosen al-Qur’an pada al-Ma’had al-A’la li as-Syari’ah (Institut Syari’ah Tunisia).
Kecaman dari Kubu Sekuler-Konservatif Di awal-awal mula pengudaraannya, keberadaan radio az-Zaitunah banyak menuai kecaman dan kritikan dari kalangan sekuler-konservatif Tunis. Mereka mengklaim jika keberadaan radio tersebut adalah upaya islamisasi di Tunisia yang berazazkan sekuler.
Keberadaan radio az-Zaitunah juga dipandang oleh kubu sekuler Tunisia sebagai "bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai modern yang telah dijalankan Tunisia selama lebih dari separuh abad".
Kubu sekuler juga menganggap adanya hubungan antara radio az-Zaitunah dengan gerakan kebangkitan Islam Tunisia yang sempat menyeruak di negeri itu pada tahun 70-an.
Sejak awal masa kemerdekaannya pada tahun 1957, Tunisia memang telah menetapkan sekulerisme sebagai asas negaranya. Presiden pertama Tunisia, Habib Borguiba (yang memerintah selama 30 tahun (1957-1987), menegaskan jika negara yang dipimpinnya haruslah berhaluan ke Barat-Eropa yang modern, serta meninggalkan Timur-Arab-Islam yang terbelakang.
Barat, dalam hal ini Perancis, dijadikan model peradaban yan harus diikuti. Bahasa Prancis pun digalakkan dalam setiap jenjang pendidikan dan hampir dalam semua sektor kehidupan. Barguiba juga menetapkan beberapa kebijakan yang menjauhkan peran agama dari kehidupan dan ruang publik. Hal-hal yang berbau keagamaan dibuang, jilbab dilarang, dan lembaga pendidikan keagamaan pun dikerdilkan.
Universitas az-Zaitunah, yang didirikan pada tahun 732 M dan telah eksis menjadi salah satu pusat keilmuan Islam di Afrika Utara, dipersempit hingga hanya menjadi sebuah fakultas dari L’Universite de Tunis, yang didirikan di era Borguiba. az-Zaitunah hanya menjadi fakultas dengan nama Kuliyyah az-Zaituniyyah li as-Syariah wa Ushul ad-Din. Jumlah mahasiswanya pun dibatasi, fasilitasnya dikurangi, hingga pada gilirannya trend sekolah agama menjadi tidak menarik lagi.
Sekulerisme Barguiba pun dilanjutkan oleh Presiden Tunisia berikutnya, Zainal Abidin ben Ali yang kini berkuasa.
Gerakan sekulerisme yang gencar digalakkan oleh pemimpin Tunisia pun pada gilirannya meninggalkan sejuntai masalah. Tunsia menjadi serupa negeri terbelah yang megngalami kegamangan identitas: satu sisi ia adalah negeri Arab dan memiliki akar sejarah dan peradaban Arab-Islam yang kuat, namun disatu sisi yang lain, ia "dipaksa" untuk meninggalkan tradisi dan sejarah tersebut, lalu mengikuti tradisi dan peradaban penjajahnya: Prancis.
Kembali ke Tradisi Awal Hasil jajak pendapat di atas, yang menegaskan Radio al-Qur’an az-Zaitunah sebagai saluran radio yang paling banyak didengar di Tunisia, setidaknya menyiratkan kenyataan akan meningkatnya mileu masyarakat yang menginginkan kembali kepada tradisi asal, yaitu Arab-Islam.
Kenyataan ini hampir sama dengan kenyataan masyarakat Turki sekarang ini. Setelah negara itu dipaksa untuk "sekuler dan sepenuhnya meniru Barat" dibawah gerakan Kemalisme selama hampir satu abad (tercatat sejak tahun 1923 M), sejak awal abad ini Turki justru semakin memperlihatkan semakin kuatnya kecenderungan masyarakatnya untuk kembali ke tradisi Islam-Timur. Kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)–sebuah partai Islam moderat Turki–secara telak pada dua kali pemilu negara itu (2001 dan 2007) menjadi bukti yang tak terbantahkan.
Meski demikian, radio az-Zaitunah juga dituntut untuk lebih meningkatkan potensi yang kini telah dimilikinya. Dr. Salim Labidh, seorang pakar ilmu-ilmu sosial Tunisia menyatakan jika Radio az-Zaitunah diharapkan mampu lebih jauh mengembangkan program-program siarannya agar dapat diterima oleh publik yang lebih luas.
(atjeng cairo/iol/berbagaisumber)