Penunjukkan Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri Israel menimbulkan spekulasi di kalangan pemuka Yahudi dan Zionis.
Sebagian kalangan mengkhawatirkan Netanyahu akan membuat hubungan Israel-AS yang selama ini bak pinang dibelah dua, akan merenggang.
Sebagian lagi membantah bahwa publik Yahudi sedang dilanda kepanikan tentang kemungkinan terjadinya benturan dalam hubungan Bibi-panggilang Netanyahu-dengan Presiden AS Barack Obama.
Bagaimana nasib Israel dibawah kepemimpinan Netanyahu dalam kaitan hubungan dengan pemerintahan Obama, menjadi pembicaraan serius dalam pertemuan jajaran pucuk pimpinan lembaga Yahudi internasional yang digelar di Yerusalem hari Minggu kemarin.
Dalam pertemuan Jewish Agency Board of Governors itu, delegasi dari Houston, Sandra Breslauer mengatakan bahwa kaum Yahudi di AS agak khawatir tentang prospek hubungan Bibi dan Obama. "Saya pikir ada sedikit kekhawatiran di kalangan Yahudi Amerika tentang kemungkinan terjadi benturan antara Bibi-Obama. Mereka juga mengkhawatirkan sosok Lieberman (Avigdor Lieberman pimpinan Partai Israel Beiteinu)," kata Breslauer.
Menurutnya, publik Yahudi Amerika meyakini akan terjadi perselisihan antara Bibi dan Obama yang bisa mengancam hubungan Israel-AS, kecuali jika Bibi bisa membentuk pemerintahan koalisi yang menyertakan Partai Kadima dan partai-partai lainnya.
Selain itu, tambah Braslauer, masyarakat Yahudi AS juga khawatir mengkhawatirkan posisi Israel yang dianggap sudah kehilangan kekuatan dalam pertempuran. Kalangan Yahudi AS melihat kenyataan bagaimana Israel harus mundur dalam peperangan di Libanon dan peperangan di Gaza yang terjadi baru-baru ini.
"Banyak orang Yahudi di AS yang merasa, apakah mereka akan bertahan atau diam saja. Kalau mereka membiarkan roket-roket ditembakkan ke arah anak-anak kami setiap hari, maka kita juga harus siap untuk pergi," ujar Braslauer.
Meski demikian, sebagian pemuka Yahudi menepis adanya kepanikan seperti yang diungkapkan Braslauer. Rabbi Jerome Epstein, CEO dan wakil presiden eksekutif United Synagogue of Conservative Judaism adalah salah satu yang membantah kekhawatiran itu.
"Ada sebagian orang yang mungkin merasa frustasi jika cara mereka tidak sejalan dengan pemerintahan baru. tapi ada sebagian orang yang biasa-biasa saja …" kata Rabbi Epstein.
Media massa Israel sendiri memberikan analisa beragam soal kepemimpinan Netanyahu dalam hubungannya dengan pemerintahan Obama di AS. Stasiun televisi Channel 2 menyebutkan bahwa Netanyahu ingin membentuk pemerintahan bersatu karena Netanyahu tahu itulah yang diinginkan Obama.
"Dengan adanya orang-orang kiri di pemerintahannya, termasuk ekstrimis macam Baruch Marzel dan Itamar Ben-Gvir yang duduk di parlemen Netanyahu tidak akan punya kesempatan untuk mendapatkan apapun dari AS. Ia harus bisa menerima solusi dua negara dan peta jalan damai, dan Netanyahu tidak bisa melakukan itu semua jika pemerintahan bersatu tidak terbentuk," demikian laporan Dana Weiss dari Channel 2.
Sementara stasiun televisi Channel 1 menyebutkan bahwa Obama-lah yang bermasalah dengan prospek baru persoalan Israel-Palestina. Reporter Yaron Dekel dalam laporannya mengatakan bahwa Obama kemungkinan akan mengedepankan isu lain daripada segera membawa ke meja perundingan tentang kesepakatan status final konflik Israel-Palestina.
"Kita belum tahu pasti apa kebijakan Obama. Obama mengatakan akan bicara dengan Iran dan menarik pasukan dari Irak, ia sangat vokal dalam dua isu saat kampanye. Tapi sikapnya atas kedua persoalan itu tidak sejelas sikapnya tentang Israel.
Obama sangat serius dengan masalah Israel, kita melihatnya saat ia menunjuk Senator George Mitchell sebagai utusan khusus Timur Tengah. Tapi saya tidak yakin, apakah Mitchell tahu apa kebijakan Obama sebenarnya, kalau pun tahu, Mitchell pasti merahasiakannya," kata Dekel dalam laporannya.
Meski demikian, Dekel menyatakan tidak yakin pemerintahan AS memilih jalan konfrontasi dengan Israel, paling tidak dalam waktu dekat ini.
Analisa lain dilontarkan komentator dari stasiun televisi Channel 10, Raviv Drucker. Ia berpendapat, Obama akan melakukan pendekatan pada Netanyahu dalam masalah Suriah. Karena negosiasi tentang Palestina, terbukti jauh lebih berbahaya.
"Gap antara Israel dan negosiator Palestina terlalu lebar, sehingga isu Suriah lebih realistis buat Bibi. Meskipun kunci dari negosiasi ini, Israel harus mundur dari Dataran Tinggi Golan," kata Drucker. (ln/JP)