Program Rekonsiliasi Diragukan Mampu Ciptakan Perdamaian di Irak

Sejumlah analis politik meragukan keberhasilan program rekonsiliasi yang digagas PM Irak Nuri al-Maliki. Mereka berpendapat program rekonsiliasi untuk menciptakan perdamaian di Irak, memiliki banyak kelemahan, antara lain tidak jelasnya poin yang membedakan antara tindakan mempertahankan diri dengan aksi terorisme.

Analis Nuri al-Tamimi mengatakan, rencana program rekonsiliasi itu memuat banyak hal yang bersifat ambigu dan penjelasannya tidak mendetil. "Isi rencana rekonsiliasi tidak jelas, masih menimbulkan interpretasi-interpretasi yang berbeda dari kelompok-kelompok yang ada di parlemen," kata al-Tamimi.

Maliki mengajukan 24 poin rekonsiliasi nasional pada parlemen pada Minggu (25/6), sebagai upaya untuk mengakhiri kekerasan di Irak. Salah satunya, yang menjadi sorotan media massa di Irak adalah masalah pemberian amnesti bagi mereka yang tidak terlibat dalam ‘kejahatan perang’ atau ‘tindak terorisme’.

Sejumlah media massa mengkritik poin pemberian amnesti itu yang mereka anggap tidak jelas. "Kekuatan rekonsiliasi butuh kejelasan bukan misteri" demikian bunyi berita utama surat kabar Azzaman, salah satu harian terkemuka di Irak.

Azzaman menilai, revisi yang dilakukan terhadap program rekonsiliasi untuk memenuhi keinginan semua kelompok politik telah mengakibatkan program rekonsiliasi itu mirip sebuah dokumen misterius, karena memuat hal-hal yang berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi.

Selain masalah pemberian amnesti, ketidakjelasan tentang pengertian aksi kekerasan dengan aksi perlawanan terhadap pasukan AS, juga menjadi tanda tanya besar.

"Kita punya sejumlah persoalan tentang rencana rekonsiliasi itu, fokus utamanya adalah gagalnya menetapkan perbedaan antara aksi kekerasan dan aksi perlawanan," kata Alaa Mekki, anggota Partai Islam.

Program rekonsiliasi yang diusulkan Maliki juga dianggap tidak cukup berani menawarkan inisiatif atau hal yang lebih konkrit untuk meredam kekerasan sektarian yang membuat Irak makin terpuruk.

"Rekonsiliasi seharusnya tidak merampas hak rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan penjajah dan harus dibedakan antara terorisme dan perlawanan," kata Umar al-Gabouri, juru bicara Front Dialog Nasional Sunni pada parlemen yang diamini oleh al-Tamimi.

"Mereka yang menargetkan pasukan penjajah sedang berjuang menegakkan kehormatan Irak," tegas al-Tamimi.

Kegagalan Maliki untuk memasukkan batas waktu penarikan mundur pasukan AS dalam rencana rekonsiliasinya, juga menuai kritikan.

Ledakan Bom di Irak

Sementara itu, kekerasan di Irak terus berlanjut. Sebuah bom dengan daya ledak besar mengguncang sebuah pasar di kota Hilla-wilayah yang didominasi warga Syiah- selatan Baghdad, Senin (26/6) dan menewaskan sejumlah orang.

Dalam waktu yang hampir bersamaan sebuah bom yang dilekatkan ke sebuah sepeda motor meledak di desa Khairnabat, dekat Baquba yang juga didominasi warga Syiah.. Kementerian dalam negeri dan saksi mata mengatakan, tujuh orang tewas dan 25 orang lainnya luka-luka dalam insiden tersebut.

Untuk korban ledakan di Hilla, belum ada kejelasan tentang jumlah korban tewas. Kementerian dalam negeri menyatakan, 17 orang tewas dan 25 orang luka-luka. Namum juru bicara polisi Hilla mengatakan, hanya delapan orang yang tewas. (ln/iol/aljz)