Presiden Prancis Nicolas Sarkozy hadir dalam buka puasa bersama warga Muslim di Masjid Raya di Paris dan melakukan dialog dengan para ulama Muslim di negeri itu. Pada kesempatan itu, Sarkozy menyatakan bersumpah akan melindungi hak-hak warga Muslim Prancis.
"Saya akan berada di sisi kalian semua untuk membela hak-hak kalian. Saya juga minta kalian berada di pihak saya dengan menjalankan tugas-tugas kalian, " kata Sarkozy, Senin (1/10).
Ia mengungkapkan bahwa ada beberapa orang di pemerintahannya yang juga menjalankan ibadah puasa. "Ini menunjukkan bahwa dari lapisan atas sampai lapisan bahwa masyarakat kita, Islam merupakan bagian integral dari negeri ini, " tukas Sarkozy.
"Mungkin akan banyak yang menentang hal ini, tapi Islam juga Prancis, " sambungnya.
Namun Sarkozy juga meminta agar semua warga negara menghormati nilai-nilai yang berlaku di Prancis, misalnya pemisahan antara gereja dan negara. Ia juga menyatakan mengecam pihak yang menggunakan nama Islam dalam melakukan tindakan kekerasan.
"Mereka yang menginginkan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam dan menyebarkan kebencian dengan mengatasnamakan Islam, tidak mendapat tempat di Prancis, " kata Sarkozy.
Ia melanjutkan, "Saya tidak pernah mengkhianati komitmen saya untuk memberikan dukungan penuh pada Islam di Prancis dan untuk melawan ekstrimisme dengan seluruh kekuatan saya. Dua hal ini berjalan beriringan. "
"Ada kelompok ekstrimis yang ingin mengakhiri kedamaian di negeri ini. Mereka yang membunuh dengan mengatasnamakan Islam dan ingin mendorong dunia ke dalam perang agama secara global telah memperburuk citra Islam, " tandasnya.
Prancis adalah negara di Eropa yang jumlah warga Muslimnya terbesar, sekitar lima juta orang. Selama ini, Sarkozy dikenal sebagai orang kerap melontarkan pernyataan keras tentang para imigran, yang membuatnya kurang populer di kalangan warga Muslim.
Prancis Negara Rasis
Sementara itu, para pakar independen di PBB yang menangani masalah warga minoritas menilai rasisme di Prancis sangat "aktif, merugikan dan kebanyakan korbannya adalah warga negara Prancis dari kalangan minoritas bukan dari kalangan imigran. "
"Karena warna kulit, agama, nama dan alamat mereka, anak-anak muda di Prancis tidak memiliki peluang bergerak dalam masyarakat, " kata Gay J. McDougall, setelah melakukan kunjungan 10 hari ke Prancis.
"Mereka yang kerja keras, patuh pada aturan dan meyakini etos-etos yang berlaku di Prancis, tetap merasakan bahwa mereka terperangkap dalam sebuah komunitas kecil, terisolasi di sebuah wilayah di mana tingkat penganggurannya bisa mencapai 40 persen, " paparnya. (ln/alraby)