PM Chechnya, Ramazan Qadyruv memberi alternatif solusi bagi permasalahan sosial di Chechnya. Ia meminta kepada pemerintah untuk menghapus undang-undang larangan poligami, guna membantu pertambahan penduduk di Chechnya. Menurutnya, Muslimin Chechnya selama ini telah mengalami penurunan populasi penduduk drastis akibat peperangan yang terjadi selama bertahun-tahun.
Harian Independent terbitan Inggris pada Sabtu kemarin (14/1) mengutip ungkapan Qadyruv, “Aku yakin bahwa masalah poligami menjadi masalah mendesak karena efek peperangan yang terjadi di masyarakat kami. Ini masalah penting bagi bangsa Chechnya.” Lebih lanjut ia menambahkan bahwa syariat Islamiyah telah memberikan hak setiap muslim untuk menikah dengan empat orang istri, jika ia mampu. “Karenanya, jika ada seorang Muslim yang mampu memiliki istri lebih dari satu, hendaknya ia melakukan hal itu,” jelasnya.
Selama ini, terdapat undang-undang dari pemerintah Rusia yang melarang poligami. Tapi larangan itu dibolehkan secara tidak resmi di sejumlah negara masyarakat Muslim yang masih berada di bawah lingkaran kekuasaan Rusia, seperti Dagistan, Ingusthia dan Chechnya.
Qadyruv juga mengatakan bahwa dalam hitungan penduduk mutakhir di Chechnya, jumlah kaum Muslimah di Chechnya melampaui jauh dari jumlah kaum Muslim, karena peperangan. Perbandingan jumlah pria dan wanita Chechnya adalah, 9 berbanding 18%, atau jumlah kaum wanita dua kali lebih banyak dari jumlah pria.
Pernyataan Qadyruv ternyata mendapat sambutan dari wakil Jubir Rusia, Vladimir Zahiriyuvsky. Ia bahkan mengatakan bahwa usulan itu bukan layak diterapkan untuk bangsa Chechnya, tapi seluruh Rusia. Lho? Dengar dulu, ternyata Rusia secara umum juga memiliki problematika yang hampir miri. Katanya, “Kami mau tidak mau harus menyambut seruan ini dan menerapkannya bagi semua penduduk Rusia. Ini karena kami mempunyai sekitar 10 juta perempuan yang hingga kini belum menikah.”
Perlu diketahui, perang Chechnya telah menelan korban lebih dari 100 ribu pria Chechnya dan 10 ribu pasukan Rusia. Sementara menurut lembaga HAM internasional, angka korban sebenarnya sangat jauh dari angka tersebut.(na-str/iol)