Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki menyatakan tidak akan memberikan amnesti bagi mereka yang terlibat penyerangan terhadap pasukan koalisi pimpinan AS. Sebelumnya, banyak pihak yang mempetanyakan perihal pemberian amnesti sebagai salah satu item rencana rekonsiliasi yang disusun Maliki.
Maliki dalam wawancara dengan media massa AS antara lain The New York Times, Los Angeles Times dan The Washington Post mengatakan,"Amnesti tidak termasuk untuk mereka yang membunuh warga Irak bahkan pasukan koalisi, karena pasukan koalisi datang ke Irak atas persetujuan internasional untuk membantu Irak."
Perihal pemberian amnesti dalam 24 poin rencana rekonsiliasi yang disusun Maliki, menyebutkan bahwa amnesti akan diberikan bagi mereka ‘yang tidak terlibat dalam tindakan kriminal dan terorisme serta kejahatan perang.’
Kata-kata itu memicu reaksi dari anggota legislatif AS. Mereka mendesak agar individu yang terlibat dalam pembunuhan terhadap tentara AS seharusnya juga tidak diberi pengampunan. Sejak invasi AS ke Irak, dipekirakan jumlah tentara AS yang tewas mencapai 2.500 orang.
Lebih lanjut Maliki mengatakan, keluarga tentara AS dan keluarga Irak yang telah kehilangan orang-orang yang dicintainya, tidak akan mendukung pemberian amnesti bagi para pelakunya.
"Kami punya orang-orang yang mengaku telah membunuh 10,20,50 bahkan 100 orang Irak dan Amerika. Dan saya pikir jika amnesti diberikan secara umum, akan menimbulkan reaksi yang negatif.
Lantas siapa saja yang berhak menerima amnesti? Maliki menjawab, mereka yang hanya terlibat dalam aksi-aksi kecil misalnya sabotase ringan. Termasuk anggota partai Bath pimpinan Saddam Hussein yang sudah melepaskan keanggotaanya.
Belum Dapat Dukungan Penuh
Sejauh ini, baru kelompok Sunni National Accord Front dan Sunni Endowment-lembaga pemerintah yang memantau masjid-masjid Sunni dan urusan keagamaan-yang menyatakan mendukung rencana rekonsiliasi Maliki.
Anggota Parlemen dari kalangan Sunni, Hussein Shukr al-Falluji menilai isi proposal Maliki masih banyak yang cacat.
"Persoalan ini tidak semudah yang dikatakan sejumlah orang. Saya berpikir, rencana ini terlalu mengikuti ideologi Amerika bukan Irak. Jika rencana rekonsiliasi ini tidak disetujui, maka pasukan asing yang ada di Irak adalah pasukan penjajah dan orang yang melawan mereka adalah pasukan perlawanan, dan tidak ada wacana untuk rekonsialiasi, tidak akan pernah ada," paparnya.
Anggota parlemen lainnya, masih dari kalangan Sunni, Adnan Thiyab al-Jubouri menyatakan, upaya negosiasi dengan kelompok perlawanan sudah selesai. "Mereka bilang, mustahil bagi kelompok perlawanan bersenjata untuk menghentikan perlawanannya. Mereka tetap mengatakan, adalah hak mereka untuk melepaskan diri dari penjajahan," ujar al-Jubouri.
Dewan Shura Mujahidin, payung dari enam kelompok perlawanan termasuk kelompok Al-Qaidah di Irak dalam pernyataan yang dimuat di situsnya mencela rencana rekonsiliasi Maliki. "Ini merupakan proyek balas dendam yang tujuannya untuk mengamankan para dalang perang salib dan para pengkhianat agama," tulis kelompok itu.
Anggota kelompok Pasukan Islam Irak pekan ini juga menyatakan menolak rencana rekonsiliasi dan bersumpah akan terus melakukan perlawanan sampai semua pasukan asing di Irak angkat kaki.
Kelompok lainnya yang menolak rekonsiliasi adalah Gerakan Perlawanan Islam yang memiliki sayap militer dengan nama Kataeb Thawrat al-Ishrin. Mereka mengatakan, rencana rekonsiliasi itu hanya untuk mempertahankan legitimasi pemerintahan boneka AS dan mengabaikan persoalan mendasar yaitu mengakhiri penjajahan asing yang menjadi keinginan semua kelompok perlawanan di Irak. (ln/iol)