Langkah pemerintah Mesir untuk “mengemis” dari Dana Moneter Internasional (IMF) telah menimbulkan kontroversi di negara ini, bukan hanya karena dampak negatif yang diperkirakan akan terjadi terhadap perekonomian Mesir tetapi juga karena perdebatan tentang haramnya bunga dan seberapa jauh pinjaman dapat dianggap sebagai riba, suatu praktek yang dilarang dalam Islam.
Kontroversi ini diperkuat oleh fakta bahwa beberapa para pemimpin Islam, terutama dari Ikhwanul Muslimin, sebelumnya menolak pinjaman dari IMF dengan alasan bahwa membayar bunga adalah salah satu bentuk riba, namun kemudian berubah pikiran setelah kandidat Ikhwan Muhammad Mursi menang dalam pemilihan presiden.
Perdebatan sengit terjadi di situs-situs jejaring sosial, di mana diposting video Syaikh Sayid Askar, mantan anggota parlemen dari partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwan dan salah satu referensi yang paling dihormati oleh kelompok agama tersebut, yang pernah menekankan dalam sebuah sidang parlemen bahwa meminjam dana dari IMF adalah bertentangan dengan ajaran Islam.
Tokoh Salafi Syaikh Muhammad Hussain Yakub sepakat dengan Askar dan mengatakan bahwa jika pinjaman dana diperlukan itu harus dari sebuah negara Islam dan sesuai dengan hukum Islam.
“Saya benar-benar menolak pinjaman riba dari Barat,” katanya dalam sebuah pernyataan yang diposting secara online.
Bagi Yunis Makhioun, anggota komite tertinggi partai Salafi An-Nur, uang yang dipinjam melalui riba tidak boleh digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan, dan ekonomi didasarkan pada riba akan segera runtuh.
“Saya menyerukan kepada pemerintah untuk menolak pinjaman yang akan merugikan perekonomian kita sehingg memungkinkan kekuatan asing untuk mencampuri urusan negera kita,” katanya seperti dikutip oleh harian independen Mesir al-Masry al-Youm.
Sikap partai kemudian berbeda ketika anggota komite tinggi partai Yousri Hammad membantah bahwa pinjaman IMF melibatkan riba.
“Ini bukan riba dan uang yang akan dibayarkan pada pinjaman tidak ada bunga tetapi hanya biaya administrasi,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Sikap Askar juga berbalik pada saat ia berpendapat bahwa situasi telah berubah sejak saat ia menyatakan bahwa pinjaman adalah bentuk riba.
“Sebelum itu, ada upaya yang disengaja untuk menghancurkan negeri tapi sekarang bahwa pemerintah telah benar mengambil alih, ada kebutuhan yang harus dipenuhi dan pinjaman adalah satu-satunya cara untuk dilakukan saat ini,” katanya kepada Al Arabiya.
Askar berpendapat bahwa, tidak seperti di masa lalu, pemerintah saat ini akan transparan tentang bagaimana uang pinjaman akan dibelanjakan.
Abdul Rahman al-Barr, Mufti dari Ikhwan dan anggota maktab al-irsyad, membantah bahwa Ikhwant telah mengeluarkan fatwa mengenai memberikan legitimasi pinjaman dari sudut pandang agama.
“Pertama-tama kita perlu mempelajari situasi dan kondisi pinjaman sebelum membuat keputusan.”
“Ini tidak logis bahwa kita mengambil pinjaman dari bank dan membiarkan bank membayar biaya. Peminjam adalah orang yang harus membayar biaya-biaya tersebut, tetapi mereka tidak dikategorikan sebagai bunga. ”
Barr menambahkan bahwa ia dan sekelompok ulama Islam bersedia untuk memberikan advice kepada pemerintah tentang pinjaman jika diminta.
“Segera setelah kami diberikan semua rincian tentang pinjaman, kita dapat mengevaluasi di mana pinjaman itu berdiri dari sudut pandang Islam,” katanya.(fq/aby)