Pertemuan yang berlangsung di Kairo, Mesir pada hari Senin (2/2) kemarin mempertemukan Mahmud Abbas-Presiden Otoritas Palestina yang telah berakhir masa tugasnya-dengan Presiden Mesir, Husni Mubarak dan Menlu Saudi, Saud Faishal dalam pembahasannya terkait permasalahan yang terjadi di Palestina. Belum diketahui secara detail keputusan apa yang dihasilkan dari rapat yang berlangsung selama dua jam itu.
Rencananya setelah pertemuan ini berlangsung, Mahmud Abbas akan melanjutkan perjalanannya menuju kota Paris, sedangkan Menlu Saudi dan Menlu Mesir akan bertolak ke kota Abu Dhabi, Emirat Arab.
Diantara isi pembahasan yang dibicarakan dalam rapat ini adalah langkah terbaru yang akan diambil oleh Mesir, untuk merekonsiliasi hubungan antar kelompok pejuang Palestina agar dapat menyatukan sikap dalam membela Palestina, serta membahas usaha penghentian perang antara pihak perlawanan di Gaza dengan tentara Israel.
Di tempat yang berbeda, Hamas juga sedang menghadiri musyawarah yang berlangsung di Kairo guna membahas inisiatif Mesir, di tengah pernyataan beberapa tokoh Hamas yang menanggapi tuntutan gencatan senjata dengan syarat. Salah seorang tokoh Hamas, Sami Abu Zuhri ketika dihubungi oleh reporter stasiun Tv Al jazeera mengatakan, bahwa kehadiran Hamas dalam pertemuan kali ini bukanlah sebagai jawaban akhir, tapi pihaknya akan terus mengambil peluang positif lainnya demi kebaikan bangsa Palestina.
Sementara itu juru bicara pemerintahan Palestina di Gaza, Tahir Nono dalam pernyataannya menyebutkan beberapa syarat dari pemerintah di Jalur Gaza untuk membuka kembali dialog dengan otoritas Palestina di Ramallah. "Menurut kami, di Ramallah terdapat hak-hak warga Palestina, karena ia menjadi jembatan segala bentuk perundingan yang dimungkinkan terjadi antara Palestina dengan Israel", jelas Nono.
Sedangkan terkait pernyataan Mahmud Abbas yang menolak dialog dengan mereka yang menolak legitimasi Palestina Liberation Organisation (PLO), tokoh dari Front Rakyat untuk Kebebasan Palestina ini mengatakan, bahwa PLO sesungguhnya telah menjadi organisasi yang telah habis masa legalitas konstitusionalnya dan selayaknya melakukan perubahan.
Nono kemudian berpendapat, bahwa kelompok-kelompok perlawanan yang telah memimpin dan memenangkan peperangan lebih memiliki hak untuk membentuk pemerintahan Palestina, namun bukan berarti mereka menggantikan posisi dari pemerintahan Otoritas Palestina yang telah ada. (sn/alj)