Akademisi, pengambil keputusan dan para pakar Islam sejak Rabu (17/5) berkumpul di Malaysia untuk membahas tentang ‘Hak Asasi dalam Islam’. Para cendekiawan Muslim memberikan pandangannya tentang bagaimana Islam memandang hak asasi manusia, meski negara-negara yang ikut dalam pertemuan itu adalah anggota PBB yang secara tidak langsung harus menerapkan piagam PBB tentang hak asasi atau Universal Declaration of Human Rights.
Pada 1990, negara-negara Islam juga sudah menandatangani dokumen serupa yaitu Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang antara lain menyebutkan bahwa hak asasi dan kebebasan haris mengacu pada aturan-aturan yang berlaku dalam Islam.
Sejak pecahnya aksi protes terhadap kartun Nabi Muhammad, Organisasi Konferensi Islam yang beranggotakan 50 negara Islam sudah menyerukan agar setiap tindakan yang melecehkan agama dan para nabi harus diberi sangsi hukum. Publikasi kartun tersebut juga menimbulkan polemik tentang persepsi kebebasan berpendapat dan hak asasi manusi secara umum antara dunia Islam dan Barat.
Para peserta diskusi di Kuala Lumpur itu telah membahas berbagai isu dan beberapa peserta menyatakan sudah saatnya umat Islam lebih terbuka tentang ketidakkonsistenan antara Barat dan Islam tentang hak asasi.
Seorang pejabat dari kantor Perdana Menteri Malaysia Muhammad Nazri Abdul Aziz mengatakan jika hak asasi itu kontradiktif dengan undang-undang Islam, umat Islam harus bilang ‘tidak’. "Kita harus terbuka tentang hal ini dan kita tidak bisa hanya mendiamkannya. Kita harus menjelaskan dan memberikan solusinya," kata Abdul Aziz.
"Masih banyak orang Barat yang tidak paham dengan Islam. Menurut pandangan mereka, hak asasi tidak terbatas, tapi ketika hak asasi manusia itu tidak sejalan dengan ajaran Islam, kita harus menjelaskannya mengapa dan berkata ‘tidak’ ", tambah Abdul Aziz yang pada bulan Maret kemarin sempat menggemparkan Malaysia karena pernyataannya yang mengatakan bahwa non Muslim yang memberikan komentar-komentar yang dianggap melecehkan Islam akan dikenai tuntutan dan dijebloskan ke penjara di bawah hukum Malaysia.
Dalam pertemuan itu, Abdul Aziz menyatakan dukungannya terhadap upaya Organisasi Konferensi Islam yang telah membuat standard hak asasi manusia dalam Islam seperti Deklarasi Kairo. Ia berpendapat, deklarasi semacam itu tidak tumpang tindih dengan mekanisme hak asasi PBB, tapi akan justru akan ‘memperkaya’ deklarasi PBB itu.
Peserta lainnya, Profesor Masykuri Abdillah dari Universitas Islam Syarif Hidayatullah membenarkan pendapat Abdul Aziz. "Benar, pandangan-pandangan dalam Islam tidak bertentangan dengan hak asasi universal," katanya.
Terkait dengan masih banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara Muslim, para peserta pertemuan di Kuala Lumpur melihatnya sebagai bagian tindakan pemerintah negara yang bersangkutan dan bukan karena melekat pada ajaran Islam.
"Banyak negara yang secara umum sangat buruk catatan pelanggaran hak asasi manusianya termasuk tingkat toleransinya. Ini disebabkan karena tidak adanya demokrasi akibat kediktatoran dan otoriterianisme," kata Profesor Azyumardi Azra, Rektor UIN Jakarta.
Sementara itu Dr. Mashood Baderin di Universitas West of England berargumen, meski pendekatan secara Islam maupun universal terhadap hak asasi manusi mungkin berbeda dalam teorinya, tetap keduanya ‘tidak saling bertentangan’ dengan tajam. Menurutnya, Islam dan hak asasi manusia sejalan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.
Terkait dengan media massa, Nasir Tamara Tamimi, mantan editor surat kabar Indonesia mengatakan, kebebasan pers juga harus disertai dengan tanggung jawab. Menurutnya, umat Islam kebanyakan bergantung pada media massa dari Barat, namun media Islam seperti Aljazeera sekalipun masih butuh ‘keseimbangan.’ (ln/arabworldnews)