Pertemuan para menteri luar negeri dari delapan negara Muslim di Islamabad, Pakistan gagal mencapai kata sepakat tentang rencana pembentukan pasukan perdamaian negara-negara Muslim di bawah bendera OKI.
Pertemuan yang berlangsung hanya satu hari, Minggu (25/2), dihadiri oleh menteri luar negeri dari Pakistan, Mesir, Indonesia, Yordania, Malaysia, Arab Saudi dan Turki, serta Sekretaris Jenderal OKI, Ekmeleddin Ihsanoglu.
Sumber-sumber yang mengkuti jalannya pertemuan mengungkapkan, masih ada perbedaan pendapat di kalangan negara anggota OKI tentang wacana pembentukan pasukan perdamaian dari negara-negara Muslim, terutama untuk membantu mengatasi masalah keamanan di Irak.
Negara yang mendukung wacana itu antara lain Malaysia dan Turki, sementara Arab Saudi, Mesir, Suriah dan Yordania tidak memberikan sikap yang jelas.
Dalam pidato pembukaan, Perdana Menteri Pakistan Shaukat Aziz mengungkapkan kembali keprihatinannya atas makin memburuknya situasi di Irak. Ia menyatakan, perlu ada upaya bersama yang terkordinir untuk membantu mengatasi situasi di Negeri 1001 Malam itu.
Dua pakar Timur Tengah di Pakistan, menyampaikan pendapatnya tentang rencana pembentukan pasukan perdamaian dari negara-negara Muslim.
Bagi Dr Shamim Akhtar, pakar bidang Timur Tengah dan mantan ketua jurusan hubungan luar negeri di Universitas Karachi, wacana itu hanya akan menguntungkan AS.
"AS ingin melepaskan diri dari selimut berdarah ini, untuk itu mereka harus mencari kambing hitam. Dan Musharraf (Presiden Pakistan) menginginkan pasukan-pasukan Islamlah yang menjadi kambing hitam dan bertindak sebagai pasukan yang menghadapi resiko itu, " kata Dr Akhtar.
Salah satu agenda pembahasan para menteri luar negeri negara-negara anggota OKI di Islamabad, memang membahasa inisiatif baru yang ditawarkan Presiden Pakistan Pervez Musharraf- yang dikenal sangat pro AS- untuk mengatasi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dunia Islam saat ini, khususnya masalah Irak, Afghanistan dan Palestina.
Dr Akhtar mengatakan, ide pembentukan pasukan perdamaian dari negara-negara Muslim hanya akan melemahkan perlawanan kelompok-kelompok pejuang di Palestina, Irak dan Afghanistan. Ia juga mengkritik Musharraf agar melihat perjalanan sejarah di Timur Tengah sebelum mengajukan inisiatif penyelesaian konflik di wilayah itu.
"Inisiatif Musharraf tujuannya untuk membuka jalan bagi pengakuan eksistensi Israel oleh negara-negara Muslim. Kelompok ini, kecuali Suriah, semuanya adalah negara yang pro AS dan tidak punya pengaruh besar. Kelompok-kelompok yang sebenarnya paling berkepentingan adalah Hamas, Hizbullah, Iran dan Suriah. Pakistan tidak masuk dalam hitungan, " tukas Akhtar.
Pendapat serupa diungkapkan Dr. Ishtiaq Ahmad yang juga profesor bidang hubungan internasional dari Universitas Quaid-I-Azam, Islamabad. Menurutnya, inisiatif Musharraf tentang pasukan perdamaian negara-negara Islam, mungkin "pesanan" AS, tapi sejumlah negara Islam mendukungnya.
"Tidak ada keraguan bahwa inisiatif ini digulirkan atas kepentingan AS yang ingin menciptakan polemik baru untuk melawan opini-opini positif tentang Hamas dan Hizbullah yang sampai saat ini masih menjadi bahan perbincangan di dunia Islam, " tukas Ahmad.
Ia menyambung, "Selain Jenderal Musharraf, hanya Mahathir Muhammad (mantan perdana menteri Malaysia) yang mampu mempengaruhi dunia Islam. Sekarang dia (Mahathir) tidak berkuasa lagi, tidak ada pilihan lain bagi AS, selain Musharraf, untuk melakukan kampanye itu.
Sama dengan koleganya, Dr Shamim Akhtar, Profesor Ahmad juga berpendapat bahwa saat ini hampir semua pemimpin Islam pro AS kecuali Iran dan Suriah dan menurutnya, inisiatif untuk mengatasi persoalan di Timur Tengah tidak akan sukses kalau semua pihak tidak melakukannya dengan serius dan sepenuh hati.
Ia mencontohkan, beberapa saat setelah pertemuan antara Pakistan dan Israel di Istanbul tahun 2006 lalu, Israel malah menyerang Libanon dan terus menerus melakukan aksi kekerasan terhadap warga Palestina. (ln/iol)