Rumah-rumah kosong, bangunan yang rusak, jembatan yang roboh, kelumpuhan melanda semua lini kehidupan di Libanon Selatan akibat serangan udara israel sejak 12 Juli lalu. Akibat serangan itu, tak kurang 800 ribu orang warga terpaksa mengungsi, termasuk para wisatawan dan pekerja asing.
Gerak pengungsi masyarakat Libanon, umumnya berasal dari wilayah Selatan Libanon ke wilayah Utara. Mereka umumnya tidak mampu untuk pergi ke negara lain. Para pengungsi itu disambut oleh saudara-saudara mereka di lokasi lain dengan penginapan sementara di masjid, sekolah maupun gereja. Kebanyakan, kelompok ini adalah anak-anak, kaum wanita dan lansia. Mereka mendapat suplai makanan dan minuman seadanya.
Persoalan lain muncul, mereka tidak memiliki kesempatan bekerja bila memang tidak pada usia produktif. Apalagi melihat roda perekonomian di seluruh Libanon umumnya menurun drastis. Ada memang sebagian pengungsi yang bekerja, tapi pekerjaan itu tidak lain membantu aksi distribusi bantuan makanan dan obat-obatan, atau bantuan pendidikan dengan mengajari anak-anak usia sekolah yang menjadi pengungsi. Tapi umumnya, para pemuda yang turut mengungsi terpaksa menjadi pengangguran di lokasi pengungsian.
Ada pula kelompok kedua yang mampu mengungsi ke luar negeri, yakni ke negara tetangga Libanon semisal Suriah, Jordania, Ciprus dan negara lainnya. Umumnya mereka yang mengungsi ke negara tetangga, memiliki sanak saudara di negara tersebut, atau memang mempunyai hubungan bisnis di sana. Mereka yang datang ke Suriah misalnya, diizinkan tinggal di kamp kamp penampungan di perbatasan yang ada di dalam wilayah Suriah. Di sanalah mereka bisa menerima bantuan dari berbagai negara Arab dan Islam yang datang. Tapi masalah pengangguran tetap menjadi persoalan, terlebih kemampuan ekonomi Suriah yang tidak begitu baik. Jumlah pengangguran di Suriah saja sejak 2000-2003 sekitar 11,7% untuk kalangan usia produktif penduduknya. Bahkan sebelum ini, tidak sedikit pemuda Suriah yang menyeberang ke Libanon untuk mencari pekerjaan.
Kelompok ketiga dari para pengungsi Libanon adalah mereka yang memang sebelumnya sudah menjadi warga negara Eropa. Ke wilayah Eropalah mereka mengungsi. Meski mereka tidak mendapat perhatian khusus dari negara yang mereka datangi, tapi di negara itu tampaknya mereka bisa mendapatkan situasi sosial ekonomi yang mendukung kehidupan mereka secara lebih baik, mengingat banyak lowongan pekerjaan yang bisa mereka masuki.
Tapi jangan dikira arus pengungsian masyarakat Libanon ini akan bernuansa prihatin dan berefek negatif seluruhnya. Sebab pengalaman pengungsian Libanon di tahun-tahun lalu, justeru memiliki sisi positif yang lain. Arus pengungsian Libanon pernah terjadi di tahun 1982-2000 yang juga diakibatkan serangan Israel. Tapi menurut prakiraan sejumlah peneliti, arus pengungsi ternyata ada aspek positifnya. Misalnya saja, Liga Arab mendata sejak 1992 hingga 2000 ada sekitar 5.300 orang Libanon yang mengungsi ke Kanada. Sejumlah pengungsi juga ada yang ke Eropa dan Amerika Utara, yakni sekitar 6.630 ribu orang dalam rentang waktu 1991-2000. Sebagian lainnya ke Ciprus, Suriah dan Yordan.
Pascatragedi 11 November saat terjadinya tragedi WTC, ribuan orang Libanon kembali ke negaranya. Kepulangan ini menjadi semacam darah segar bagi Libanon, di mana para pengungsi itu dahulunya, kini telah menjadi pengusaha yang kemudian turut banyak mengalirkan modal investasi di Libanon. Dan kini, arus pengungsian itu terjadi lagi. Semoga saja, ada hikmah dibalik ini semua, seperti istilah Arab, “Maa asybahal lailu bil barihah”, “kejadian malam lalu, sama dengan malam ini”. (na-str/iol)