Tentara yang lain, Zaw Naing Tun mengatakan, pada waktu yang sama ia dan rekan-rekannya di batalion lain mengikuti arahan yang hampir sama dari atasannya: Bunuh semua yang Anda lihat, baik anak-anak atau orang dewasa.
“Kami memusnahkan sekitar 20 desa,” ungkap Zaw Naing Tun, menambahkan bahwa dia juga membuang mayat di kuburan massal.
Mantan biksu Buddha itu mengatakan batalionnya membunuh sekitar 80 Rohingya yang berlangsung dari jam ke hari. Tentara tersebut mengatakan bahwa dia dan anggota batalionnya yang lain menyerbu 20 desa di Maungdaw, termasuk Doe Tan, Ngan Chaung, Kyet Yoe Pyin, Zin Paing Nyar dan U Shey Kya.
Pria berusia 30 tahun itu mengatakan bahwa dia dan 4 anggota batalionnya menembak mati 7 warga Rohingya di Zin Paing Nyar. Mereka menangkap 10 pria tak bersenjata, mengikat mereka dengan tali, membunuh mereka dan menguburkan mereka di kuburan massal di utara desa, katanya dalam video kesaksian tersebut.
Zaw Naing Tun mengatakan dia tidak melakukan kekerasan seksual karena dia terlalu rendah untuk berpartisipasi. Sebaliknya, menurut pengakuannya, dia berdiri sebagai penjaga ketika orang lain memperkosa wanita Rohingya.
Meski begitu ada beberapa perbedaan antara pengakuan para tentara Myanmar dan penduduk desa Rohingya. Myo Win Tun menggambarkan menara seluler itu berada di sebelah timur pangkalan infanteri 552 padahal sebenarnya berada di barat daya.
Awal tahun ini, keduanya berakhir dalam tahanan Tentara Arakan, milisi etnis Rakhine yang saat ini memberontak melawan tentara Myanmar. Kedua pria itu mengatakan bahwa mereka meninggalkan Tatmadaw.
Video kesaksian kedua tentara itu sendiri direkam oleh Tentara Arakan dan menjadi pengakuan pertama yang dilontarkan oleh anggota militer Myanmar yang secara terbuka mengaku ambil bagian dalam apa yang menurut pejabat PBB sebagai kampanye genosida terhadap Muslim Rohingya di negara itu.
Keduanya, yang melarikan diri dari Myanmar bulan lalu, diangkut ke Den Haag di mana Pengadian Kriminal Internasional (ICC) telah membuka kasus yang memeriksa apakah para pemimpin militer Myanmar melakukan kejahatan skala besar terhadap Rohingya.
Kekejaman yang dijelaskan oleh kedua pria itu memberikan bukti pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang dikumpulkan dari lebih dari satu juta pengungsi Rohingya yang sekarang berlindung di negara tetangga Bangladesh. Yang membedakan kesaksian mereka adalah dari pelaku, bukan korban.
“Ini adalah momen monumental bagi Rohingya dan rakyat Myanmar dalam perjuangan berkelanjutan mereka untuk keadilan,” kata Matthew Smith, kepala eksekutif di Fortify Rights, pengawas hak asasi manusia.
“Orang-orang ini bisa jadi pelaku pertama dari Myanmar yang diadili di ICC, dan saksi orang dalam pertama di dalam tahanan pengadilan,” imbuhnya.
The New York Times tidak dapat secara independen mengkonfirmasi bahwa kedua tentara tersebut melakukan kejahatan yang mereka akui. Namun detail dalam narasi mereka sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh puluhan saksi dan pengamat, termasuk pengungsi Rohingya, warga Rakhine, tentara Myanmar, dan politisi lokal.
Beberapa penduduk desa secara independen mengkonfirmasi keberadaan kuburan massal yang diberikan tentara dalam kesaksian mereka – bukti yang akan disita dalam penyelidikan di ICC dan proses hukum lainnya.
Pemerintah Myanmar berulang kali membantah bahwa situs semacam itu ada di seluruh wilayah. Namun cerita dari kedua tentara itu menghancurkan narasi resmi tersebut. (*)