Pemerintah Irak lagi-lagi gagal menunjuk menteri pertahanan dan menteri dalam negerinya setelah sidang parlemen Minggu (4/6) menunda pemilihan siapa orang yang dianggap tepat untuk dua posisi penting itu. Parlemen tidak memberi batas waktu sampai kapan penundaan itu akan dilakukan.
Juru bicara parlemen Khaled al-Attiya tidak memberi alasan mengapa penundaan itu dilakukan. Namun sumber-sumber di pemerintahan Irak mengatakan penyebabnya adalah karena aliansi syiah mengalami deadlock untuk menentukan kandidat yang akan diajukan sebagai menteri dalam negeri Irak.
Sumber-sumber di aliansi syiah sendiri menyatakan, Dewan Tinggi Revolusi Islam di Irak, mengancam akan menolak pencalonan mantan pejabat militer dari syiah Faruk al-Araji untuk menduduki jabatan tersebut meski pencalonan itu dilakukan PM Irak Nuri al-Maliki. Penolakan itu menyebabkan perpecahan aliansi syiah kekelompok al-Maliki. Tapi anggota-anggota aliansi syiah mengatakan, kemungkinan kesepakatan tentang pencalonan menteri dalam negeri dari kelompok syiah akan dilakukan dalam beberapa hari mendatang.
Sejak PM Nuri al-Maliki mengumumkan pemerintahan nasional bersatu di Irak pada 20 Mei lalu, ia mengosongkan dua posisi menteri strategis ini karena intensitas pertikaian antar kelompok di Irak yang masing-masing ingin menempatkan orang-orangnya di kedua posisi itu. Sementara al-Maliki menginginkan kedua posisi menteri itu dipegang oleh orang-orang yang independen namun bisa diterima oleh semua elemen politik di Irak. Dengan penundaan oleh parlemen ini, maka Irak masih akan belum memiliki menteri dalam negeri dan menteri pertahanan.
Insiden Penyerangan Masjid di Basra
Sementara itu, situasi keamanan di Irak makin tak menentu. Aksi-aksi kekerasan masih terus berlangsung. Seorang diplomat Rusia dikabarkan tewas dan sebuah serangan ke masjid di Basra Sabtu (3/6) malam menyebabkan sedikitnya 16 orang tewas.
Wartawan Irak Ali Muhammad pada situs aljazeera mengungkapkan, para saksi mata melihat pasukan Garda Nasional Irak dan aparat kepolisian menyerbu masjid tersebut setelah baku terjadi baku tembak selama hampir tiga jam.
"Semua yang ada di dalam masjid tersebut tewas," kata Muhammad. Tidak jelas apakah di antara korban tewas itu terdapat anggota kepolisian Irak.
Pernyataan yang dirilis pihak Wakaf Sunni mengatakan, aparat polisi menembaki para jamaah masjid yang tidak bersenjata. "Hanya para jamaah yang tewas dalam masjid tersebut. Mereka telah membunuh warga tak bersenjata di dalam masjid. Kami menduga aparat keamanan di Basra terlibat, " demikian bunyi keterangan pihak sunni.
Namun aparat kepolisian menolak tuduhan itu. Mereka menyatakan aparatnya berusaha mempertahankan diri dari sekelompok orang bersenjata yang datang ke masjid tersebut. Seorang sumber di kepolisian mengatakan, sebelumnya mereka mendengar kabar bahwa kelompok ‘teroris’ berlindung di masjid tersebut, kemudian aparat kepolisian mengepung masjid itu dan melepaskan tembakan.
Insiden penembakan di dalam masjid terjadi beberapa jam setelah sebuah bom mobil meledak dan menewaskan 28 orang. Aksi kekerasan lainnya yang terjadi pada Minggu (3/6) adalah aksi penembakan 24 orang warga sipil di wilayah utara Baghdad.
Sumber di kepolisian Irak mengungkapkan, sekelompok orang bersenjata menyeret 24 penumpang keluar dari kendaraan-kendaraanya, kemudian ‘mengeksekusi’ dengan cara menembak mereka semua. Peristiwa ini terjadi di pos pemeriksaan di provinsi Diyala, utara Baghdad. Mereka yang menjadi korban antara lain para pelajar, anak-anak dan orang-orang tua.
Sementara di Udhaim, 120 kilometer ke utara Baghdad juga terjadi insiden penyerangan. Di Samawa, sebelah selatan Irak, 13 warga Irak tewas dan 7 aparat polisi luka-luka. Insiden ini terjadi setelah pasukan keamanan Irak terlibat bentrokan dan melepaskan tembakan ke arah pengunjuk rasa.
Para pengunjuk rasa yang berdemonstrasi di luar kantor gubernur Muthanna mendesak agar gubernur turun dari jabatannya karena tidak mampu mengatasi kekuarangan persediaan air dan tidak mampu mengakhiri dominasi kelompok milisi bersenjata di kota itu. (ln/aljz)