Juru bicara PBB, Stephane Dujarric mengatakan Guterres mendesak pimpinan militer untuk menghormati keinginan rakyat Myanmar terkait proses demokrasi di sana.
“Sekretaris Jenderal mengutuk kerasa penahanan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan para pemimpin politik lainnya. Perkembangan ini merupakan pukulan serius bagi reformasi demokrasi,” kata Dujarric dalam sebuah pernyataan seperti mengutip AFP.
Seperti diketahui bahwa etnis Rohingya selama ini menghadapi krisis kemanusiaan yang dipicu oleh operasi militer Myanmar yang ingin meringkus kelompok teroris pelaku penyeragan sejumlah pos keamanan di Rakhine.
Krisis kemanusiaan yang menyasar etnis Rohingya dan minoritas Muslim lain di Rakhine kembali memburuk pada pertengahan 2017. Penyelidik PBB mengatakan sekitar 10 ribu etnis Rohingy akemungkinan tewas dalam aksi brutal militer Myanmar.
Menanggapi tuduhan tersebut, Suu Kyi berulang kali membantah adanya pembantaian terhadap etnis Rohingya. Kendati demikian, ia mengakui adanya kemungkinan tentara telah menggunakan kekuatan secara berlebihan.
Dalam pengadilan tertinggi PBB, peraih Nobel Perdamaian 1991 itu meminta untuk menghapus kasus pembantaian etnis Rohingya dari daftar. Menurutnya, pengadilan harus menolak permintaan tindakan sementara yang diajukan oleh Gambia.
“Mengakhiri konflik internal yang sedang terjadi merupakan hal paling penting bagi Myanmar. Tetapi sama pentingnya untuk menghindari pengunduran diri dari konflik bersaudara di Rakhine utara pada 2016-2017,” ujar Suu Kyi dalam pengadilan di Mahkamah Internasional pada 2019 lalu.(cnn)