Krisis yang terjadi antara pemerintah Mesir dan Organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun memasuki fase baru dari dinamika perselisihan yang selama ini terjadi. Kali ini, krisis yang terjadi bukan saja pada aksi penangkapan massif, tapi sudah berlanjut hingga pada pengadilan militer. Dan pengadilan militer atas aktifis Al-Ikhwan, kini sudah menyulut kepedulian banyak Organisasi HAM internasional.
Hingga saat sekarang, belum ada kecenderungan pemerintah Mesir untuk mengubah pola hubungannya dengan Al-Ikhwan yang disebut-sebut sebagai organisasi dakwah terluas jaringannya di dunia itu. Di lapangan politik Mesir, terus terjadi pro dan kontra yang semakin besar terkait tema siapa yang akan mewarisi pemerintahan Mesir ke depan?
Sejumlah pengamat memandang, meningkatnya eskalasi tekanan pemerintah belakangan ini yang luar biasa terhadap Al-Ikhwan, adalah terkait kuat dengan pertanyaan tadi. Dr. Dhiya Rashwan, pakar masalah Organisasi Islam di Al-Ahram Politic Studies di Mesir mengatakan, “Krisis saat ini adalah krisis yang paling tajam dibanding sebelumnya, bahkan belum pernah terjadi pada pemerintahan Mubarak. ”
Tentang hubungan krisis ini dengan paket suksesi pemerintaha Mesir, ia mengatakan, “Masalah ini masih belum jelas. Karena konferensi umum partai pemerintahlah yang akan menjawabnya. Dan acara itu baru akan diselenggarakan pada bulan Agustus ini. ”
Tampaknya politik pemerintah Mesir belum akan mengubah pola pemerintahannya terkait dengan Al-Ikhwan Al-Muslimun. Sejauh ini, Pemerintah masih menggunakan cara represif menghadapi Al-Ikhwan. Ada skenario di balik kondisi ini, antara lain, keinginan kuat pemerintah untuk menghapus semua rival politiknya dengan berbagai cara. Antara lain dengan memunculkan perselisihan internal, membuat celah undang-undang yang bisa melarang peran partai politik non pemerintah, sebagaimana yang terjadi pada Hizb Amal, Hizb Al-Ghad dan Hizb Al-Ahrar.
Dari sudut ini, menurut Rashwan, pemerintah Mesir melakukan interaksi terhadap Al-Ikhwan dalam dua sisi. Pertama, memunculkan politisi pro Partai Nasional sebagai partai pemerintah, untuk mengupayakan menyingkirkan peran Al-Ikwhan secara politik. Kedua, dari sisi aparat keamanan yang terus menerus menerapkan pola lama dengan menangkap setiap orang yang diduga mempunyai hubungan dengan al-Ikhwan.
Sejumlah pengamat juga memandang bahwa sikap keras pemerintah Mesir terhadap Al-Ikhwan punya kaitan untuk melemahkan tekanan dunia internasional, khususnya sikap AS, yang belakangan menuding Mesir berada di balik banyak krisis yang terjadi di Irak dan Palestina, bahkan juga Iran. Kemenangan Hamas di Palestina dalam Pemilu, juga sangat mengejutkan bagi Amerika, sehingga mereka berpikir bagaimana agar tidak terulang kemenangan yang sama di Mesir oleh Al-Ikhwan Al-Muslimun. Hamas, adalah sayap Al-Ikhwan Al-Muslimun di Palestina.
Sementara di sisi lain, LSM internasional yang bergerak di bidang HAM kian menyoroti pola kekerasan yang dilakukan pemerintah Mesir terhadap anggota Al-Ikhwan. Misalnya saja, Human Right Group Amnesty International yang mengatakan, sangat konsern memperhatikan kasus dua orang lawyer asal Ikhwan di Mesir, yakni Ragab Abu Zeid dan Saber Amer. Beberapa hari lalu, kedua anggota parlemen Mesir yang ditangkap karena tuduhan sebagai anggota Al-Ikhwan akhirnya dibebaskan, dengan uang jaminan sebesar 1.700 dolar.
Al-Ikhwan Al-Muslimun, namun sudah lebih dari 50 tahun dilarang di Mesir, dan anggotanya mencalonkan diri untuk dipilih menjadi anggota Parlemen sebagai calon independen. Kelompok ini menguasai sekitar seperlima dari 454 kursi di Majelis Rendah Parlemen. (na-str/aljzr)