Sebuah komisi penyelidik di Myanmar menyarankan diberlakukannya program keluarga berencana untuk mengurangi jumlah umat Muslim Rohingya di Rakhine. Menurut mereka, kekerasan di Rakhine terjadi akibat Muslim Rohingya yang terus bertambah.
Diberitakan Telegraph, Senin 29 April 2013, komisi ini dibentuk Presiden Thein Sein untuk menyelidiki kekerasan di Rohingya tahun lalu. Dalam laporan tersebut, umat Muslim Rohingya disebut dengan nama “Bengali”, karena pemerintah Myanmar meyakini mereka pendatang dari Bangladesh.
Komisi ini merekomendasikan pemerintah Myanmar untuk menggelar program keluarga berencana khusus bagi Rohingya. Dikatakan bahwa program ini akan dilakukan secara sukarela, namun pemerintah harus mencari cara menerapkannya demi meredam konflik.
“Umat Buddha Rakhine terancam dengan pertumbuhan populasi Bengali. Menjauhkan dua komunitas bukanlah solusi jangka-panjang, ini (program keluarga berencana) harus dilakukan sampai ketegangan menurun,” tulis laporan itu.
Belum ada keputusan atau komentar dari pemerintah Myanmar menanggapi rekomendasi ini.
DikecamÂ
Rekomendasi ini dikecam keras beberapa kalangan, termasuk aktivis dan anggota parlemen Myanmar. Salah satunya datang dari Shwe Maung, etnis Rohinggya di parlemen negara bagian Rakhine, yang menolak rekomendasi tersebut.
“Laporan ini tidak adil. Laporan ini hanya mendengarkan tuntutan dari etnis Rakhine,” kata dia.
Hal yang sama disampaikan oleh Phil Robertson, Wakil Direktur Human Right Watch Asia. Menurutnya, laporan itu tidak menjawab solusi atas dugaan pembersihan etnis dan kejahatan sistematis pada Rohingya bulan Juni dan Oktober tahun lalu.
“Sangat menakutkan saat mulai membicarakan pembatasan kelahiran sebuah etnis tertentu. Apakah akan ada pemaksaan walaupun pemerintah mengatakan ini program sukarela?” kata Robertson. (Telegraph/Viva/Eramuslim/Dz)