Dewan Muslim-Amerika mempertanyakan sikap pemerintah AS yang menahan dan kemudian mendeportasi beberapa ulama yang diundang oleh warga Muslim di AS untuk memimpin sholat tarawih selama bulan Ramadhan.
Tindakan pemerintah itu mengganggu rencana-rencana yang sudah disusun sejumlah Islamic Center di AS sepanjang bulan Ramadhan ini.
"Kami butuh jawaban dari pemerintah," kata Nihad Awad, direktur eksekutif Council on American-Islamic Relations (CAIR) seperti dikutip harian Washington Post, Minggu (1/10).
Beberapa cendikiawan Muslim dan Imam yang diundang warga Muslim AS untuk memimpin sholat tarawih ditolak masuk AS tanpa ada penjelasan. Ismail Mullah, seorang ulama yang dikenal halus tutur katanya, adalah salah seorang ulama yang ditolak itu. Ulama kelahiran Gujarat, India yang kini menetap di Afrika Selatan ini, ditolak masuk AS sesampainya di bandara internasional Dulles.
Hal serupa terjadi pada sedikitnya empat ulama lain, yang mendorong CAIR untuk meminta klarifikasi dari pemerintah AS.
"Kami ingin masyarakat diatur oleh hukum. Kami ingin melindungi negara kami.pada waktu yang sama, kami hanya ingin meyakinkan bahwa kami tidak melangkahi hak asasi orang lain dan untuk itu kita berlanjut menjadi masyarakat yang terbuka dan hangat," kata Awad.
CAIR ingin tahu mengapa pemerintah AS menunggu sampai orang yang bersangkutan tiba di AS untuk kemudian menolak dan mendeportasinya. Mengapa AS tidak menolak saja visa mereka sehingga pihak pengundang bisa mencari alternatif penggantinya.
Sejak peristiwa serangan 11 September, AS menolak visa sejumlah tokoh, profesor dan intelektual terkenal berkebangsaan Arab berdasarkan kecurigaan bahwa orang yang bersangkutan mendukung kelompok-kelompok yang oleh AS dimasukkan dalam daftar teroris.
Kasus terakhir dan masih hangat dibicarakan adalah penolakan AS terhadap tokoh Muslim Tariq Ramadan. Pada tahun 2005, tokoh Muslim Inggris, ulama Zakir Badawi juga ditolak masuk AS saat ia tiba di bandara John F. Kennedy, New York. Kedatangan Badawi ke AS saat itu, untuk memberikan ceramah tentang hukum dan agama dalam masyarakat di Chautauqua Institution.
Tapi pemerintah AS kemudian minta maaf dan mencabut larangan visa terhadap Badawi. Setelah itu AS mengizinkan Badawi masuk AS kapan saja dia mau.
Tokoh Muslim lainnya yang pernah ditolak masuk AS adalah penyanyi Cat Steven atau Yusuf Islam. Peristiwa ini terjadi pada bulan September 2004.
Program Ramadhan Terganggu
Penolakan yang dilakukan aparat berwenang AS di saat detik-detik terakhir, memaksa sejumlah Islamic Center dan masjid di AS mendesain ulang program Ramadhannya.
Pusat Komunitas Muslim di Nothern Virginia, sempat kelabakan mencari pengganti Ismail Mullah, setelah akses masuknya ke AS ditolak. Padahal komunitas ini sudah mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membayar biaya perjalanan Mullah.
Setelah beberapa hari mencari pengganti dan hampir putus asa, komunitas Muslim itu akhirnya menemukan dua remaja Muslim lokal yang hapal Al-Quran untuk membantu memimpin sholat tarawih berjamaah sepanjang Ramadhan.
"Saya berpikir, bagaimana saya akan melakukan ini," kata Aman Chhipa, 13, salah seorang dari ‘imam’ yang ditemukan itu.
"Saya grogi. Saya berpikir saya tidak akan mampu melaukannya," tandas ‘imam’ satunya lagi bernama Uzair Jawed, 16.
Meski demikian, para jamaah masjid sangat berterima kasih pada kedua anak muda itu. Tetapi mereka tetap merasa kehilangan karena Mullah tidak diperbolehkan masuk AS. Selain akan memimpin sholat tarawih, Mullah rencananya akan membimbing pengelolaan dana sumbangan dan memberikan nasehat-nasehat jika diperlukan.
"Seorang anak muda dan da’i dewasa adalah sebuah perbedaan besar," kata Fahad Mirza,29, seorang jamaah. Ia menambahkan, kedua anak muda itu ‘hebat’ tapi mereka ditunjuk karena mereka tidak punya pilihan lain.
Nihad Awad mengatakan, episode ini merupakan saat bagi warga Muslim AS untuk menghentikan larangan-larangan terhadap kedatangan cendikiawan Muslim dari negara lain sebagai dampak dari peristiwa 11 September. Salah satu caranya adalah dengan menyiapkan kaderisasi imam.
"Saya pikir ini penting bagi kita untuk menghasilkan imam dari kalangan kita sendiri," ujar Awad dan diamini oleh ayah Aman, Nasir Chippa yang juga direktur Islamic Center.
"Kita mengambil hikmah dari persoalan ini. Kita harus memproduksi ulama kita sendiri," tandasnya. (ln/iol)