Malaysia meminta PBB mengizinkan pasukannya terlibat dalam pasukan perdamaian internasional yang di tempatkan di Selatan Libanon. Selain itu, pihak kerajaan Malaysia mengkritik PBB agar tidak mengikuti kehendak Israel yang menolak kehadiran pasukan pemerintahan yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Pernyataan ini dikeluarkan setelah pakar militer Inggris mengungkapkan kemungkinan besar pasukan perdamaian gagal di tempatkan di Libanon Selatan, karena situasi yang tidak jelas.
Menlu Malaysia Said Hamid Albar meminta, “PBB jangan tunduk pada keinginan Israel dalam masalah pemilihan negara yang bisa terlibat dalam tim pasukan perdamaian di Libanon.”
Menlu Malaysia juga menegaskan soal netralitas pasukannya bila di tempatkan di Libanon Selatan mengingat peran Malaysia yang sudah pernah terlibat dalam sejumlah momen perdamaian di Kongo, Somalia, Bosnia dan Timor Timur.
“Tentara kami mengetahui bagaimana mereka bisa menjalankan misi mereka dan tidak akan memihak pada kelompok tertentu. Mereka pasti bisa bekerja sesuai dengan prinsip yang digariskan PBB,” ujar Albar. “Tapi jika keputusan PBB tetap tunduk pada keinginan Israel yang menolak keterlibatan negara yang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dalam pasukan perdamaian di Libanon, kami tidak bisa berbuat apa-apa.”
Malaysia siap menerjunkan 1.000 orang pasukannya ke Libanon Selatan untuk misi perdamaian dan stabilitas Timur Tengah. PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi sebelumnya mengatakan bahwa PBB ragu menerima seribu pasukan Malaysia untuk terlibat dalam pasukan perdamaian di Libanon. “Mereka khawatir, karena Israel tidak setuju dengan pasukan Malaysia,” ujar Badawi.
Kemungkinan gagalnya pembentukan pasukan perdamaian PBB di Libanon disampaikan oleh pakar militer Inggris bahwa pasukan UNIFIL akan menghadapi bencana bila kondisinya tidak menentu. Jendral Michael Ruz yang pernah menjadi komando pasukan perdamaian di Bosnia tahun 1994-1995, menuliskan makalah tentang ketidakjelasan rekomendasi PBB 1701 dan ketidakjelasan misi yang harus dijalankan pasukan perdamaian di Libanon. “Sampai sekarang belum ada keputusan yang jelas tentang cara melucuti senjata Hizbullah. Inipun baru bisa dilakukan bila sudah ada kesepakatan prinsipil soal masalah tersebut,” tulisnya.
Ruz juga mempertanyakan ketidakjelasan rekomendasi PBB perihal, jika Israel menodai resolusi PBB dengan tetap menyerang Libanon. “Apakah mungkin PBB melakukan serangan balik terhadap Israel bila mereka merusak resolusi 1701?” Inilah, menurut Ruz, yang menyebabkan ketidakjelasan misi pasukan perdamaian PBB di Libanon. Ruz juga meragukan pasukan itu bisa bertindak netral dalam menindak Israel, tidak hanya dalam menghadapi Hizbullah. Jika demikian, tambahnya, maka pasukan perdamaian akan kehilangan legalitasnya di mata dunia internasional, utamanya di mata negara Arab dan Islam. (na-str/iol)