Pelajaran di Balik Film Fitna

Sebagai muslim saya sangat tersinggung saat melihat film “ Fitna” beredar di Youtube. Terlebih lagi setelah saya membaca di berbagai media di Indonesia tentang beredarnya Film dokumenter berdurasi 16 menit itu. Yang membuat saya tersinggung adalah kutipan ayat ayat yang divisualkan secara gamblang dari mulai aksi teror hingga dasar ayat yang mendorongnya. Saya tersinggung bukan karena ayatnya yang tidak benar, tetapi bagaimana ayat-ayat itu digambarkan sebagai pembenaran spiritual atas semua tindakan terror yang juga digambarkan dalam film itu.

Walaupun demikian, ketersinggungan saya hanya sebatas pada keyakinan bahwa semua yang digambarkan itu tidak benar dan bertentangan dengan fakta yang ada, karena saya mengalaminya. Saya belajar Islam pada usia dini di Madrasah dan Pondok Pesantren. Saya belajar Islam Madrasah selama 6 tahun dan di pondok Pesantern 4 tahun, dan mengajarkan Islam pada anak anak selama 11 tahun sebelum ke US.

Pengalaman saya belajar di Pesantren dan Madrasah menujukkan bahwa memang apa yang diajarkan, berkenaan dengan jihad atau perang, dan soal Yahudi, hampir mirip dengan apa yang digambarkan di film tersebut. Tetapi konteksnya sangat berbeda. Kondisi muslim saat itu memang dalam keadaan tertindas di negerinya sendiri dan terlebih lagi Israel, yang hingga kini masih biadab, memang merajalela dalam pelanggaran hak azasi manusia.

Kepada santri, sang guru tentu mengajarkan dasar spiritual untuk menghadapi hal itu sebagai rasa persaudaran atas bangsa Palestina dan pengambil-alihan Masjidil Aqsho di Yerusalem. Tak urung juga karena kekejaman Zionis-Israel akan menimpa Muslim di mana pun mereka berada. Maka tersebutlah ayat yang dikutip juga dalam film itu. Sebut saja QS: Anfal 60:. Ayat itu benar adanya dan artinya juga benar. Meskipun demikian, diajarkan juga pada saya bahwa semua itu tidak benar jika dilakukan secara individual. Yang berarti kalau saya bertindak menyerang non muslim secara pribadi maupun Yahudi, saya dikategorikan sebagai konyol secara agama sekalipun.

Jauh merenungi ayat itu, makna yang saya tangkap dari ayat tersebut adalah; bahwa Islam menganut prinsip defensive active, yang berarti melawan bila diserang, dan membela diri bila dianiaya. Dan menyerang pun tidak bisa sembarangan semaunya sendiri. Semua perintah penyerangan adalah wewenang “ Ulil Amri”, yang berarti perang itu harus dalam sebuah sistem bukan “ individual action” yang berdiri sendiri. Seperti yang digambarkan pada film itu. Dalam film itu terkesan seolah-olah tiap orang Islam sah melakukan apa saja terhadap pihak yang disebut musuh, sebagai seperti digambarkan dalm khotbah yang berapi-api.

Saya sangat menyayangkan penggambaran tersebut, apalagi anak kecil berjilbab ketika ditanya soal Yahudi. Semua jawabannya yang saya tahu tidak benar. Yang saya dapatkan adalah bahwa Israel dikutuk menjadi kera karena mereka berkali-kali berkhianat sejak zaman Nabi Musa a.s., hingga Zaman Nabi Muhammad SAW, bahkan hingga kini. Bangsa yang pandai memutar-balikan fakta dan selalu berkhianat pada janjinya. Apalagi sekarang, mereka semakin menjadi-jadi dengan membantai Bangsa Palestina dan menduduki tanahnya termasuk Yarusalem di mana Masjidil al-Aqsho berdiri sebagai kiblat pertama umat Islam.

Dari visualisasi anak kecil berjilbab itu terkesan kalau Islam mengajarkan kebencian sejak dini dalam sistem pendidikannya. Inilah yang membuat saya lebih tersinggung, karena terkesan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kebencian.

Usai menonton video itu saya merenung dan berbicara di kelas dengan teman-teman international soal pendidikan, termasuk dua teman Yahudi dari Israel. Dalam pembicaraan itu saya terkejut, karena di Israel, pemerintah sejak dini justru sudah menanamkan kebencian pada bangsa Arab dan boleh membunuhnya kapan saja. Bahkan di kampus-kampusnya seorang mahasiswa boleh membawa pistol dengan alasan menjaga diri.

Lantas saya bertanya, sebenarnya siapakah yang mengajarkan kebencian itu? Bahkan saya juga bertanya juga, “Apa yang akan terjadi jika itu diajarkan di negeri negeri ketiga? (sebut negeri muslim ). Pasti dunia ini akan menyebut bahwa pendidikan Islam mengajarkan terorisme sejak dini. Dua teman Israel saya tersenyum. Jadi jelaslah sekarang, bukan Islam yang mengajarkan kebencian tetapi yang terjadi di Israel saat ini dan di Barat pada umumnya, itulah yang sebenarnya terjadi. Bahwa Islam dibenci dan menjadi objek Islamophobia.

Oleh karena itu, sebagai muslim saya mengerti kalau ratusan juta ummat Islam tersinggung karena agamanya dihina sedemkian rupa, bukan hanya kali ini. Hal itu pula yang mendorong muslim garis keras untuk melawan dengan kekerasan, sekalipun saya tidak setuju, karena kalau itu dilakukan sama saja dengan membenarkan apa yang digambarkan dalam film itu. Di AS sendiri banyak muslim yang tersinggung, tetapi mereka masih bisa mengendalikan kebencian itu ke jalur yang tidak merusak.


Terlepas soal kebenaran kutipan ayat tersebut, yang jelas, konteksnya tidak benar kalau Islam memang sedemikian suram seperti deskripsi pada film itu.Yang benar adalah antara ayat satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan tidak bisa berdiri sendiri untuk membenarkan suatu tindakan kepada non muslim apalagi dengan terorisme. Yang benar adalah ummat Islam dipaksa untuk melakukan hal itu dan kemudian didiskreditkan sebagai teroris.

Ada Hikmah dan Pelajaran

Lebih jauh soal film itu, saya melihat ada pelajaran besar yang harus diambil. Pelajaran itu berlaku baik bagi Muslim dan non Muslim sebagai sesama manusia yang punya hak asasi hidup di dunia ini. Sebagai mahluk Tuhan yang berhak menduduki dunia ini dan menikmati isinya.

Bagi non Muslim, hendaknya mengganggap kalau film itu bukanlah gambaran muslim yang sebenarnya. Film ini adalah gambaran kekecewaan soerang Wilders yang secara pribadi mengalami nasib buruk berkaitan dengan pengalamannya berhubungan dengan Muslim. Juga, hendaknya selektif dalam mempublikasikan sesuatu yang bernuansa sensisitif terhadap agama agama yang dianut. Apalagi keberadaan agama apapun dijamin secara undang undang khususnya di negeri Barat yang katanya pelopor Hak Hak Asasi Manusia. Bukankah Islam datang ke Eropa dengan cara yang damai bukan dengan penjajahan?

Bagi ummat Islam, peristiwa itu hendaknya menjadi bahan introspeksi diri. Dan saya menyadari bahwa tersinggung adalah hal yang wajar dan memang harus tersinggung. Tetapi jika itu diungkapkan dengan berlebihan seperti merusak dan membuat terror sama saja dengan mencederai Islam itu sendiri. Bukankah Islam mengajarkan kebaikan sekalipun kepada musuh yang akan membunuhnya? Semua ada waktunya dan ada aturannya. Lihat akhlaq Rasulullah ketika dia menghadapi orang yang akan membunuhnya, dia tidak serta merta membalas dengan kekerasan itu bukan? Saat musuhnya tidak berdaya dia menyambutnya, dan kemudian dia masuk Islam.

Saya juga faham kalau pemerintah Indonesia dengan sigap mencekal Wilders untuk menginjakan kaki di Indonesia, walaupun saya juga maklum kalau itu dilakukan karena sudah mendekati pilpres. Semua itu bernuansa politik. Tetapi apapun adanya larangan itu cukup untuk meredam kemarahan ummat Islam Indoensia yang sangat tersinngung berat seperti saya.

Jauh berfikir ke depan, saya mengajak ummat Islam untuk memperbaiki kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang benar bukan ajaran Islam yang sudah dibajak. Jangan mudah terprovokasi dengan gaya murahan seperti itu. Kita memang mencintai Rasulullah, tetapi bagaimana kita mencintai beliau juga mesti dengan benar.

Bukan dengan mencela agama lain, dengan kekerasan bahkan dengan tindakan tindakan destruktif lainnya. Bukankah Allah sendiri yang berfirman, “Katakanlah wahai Muhammad!, jika engkau (muslim) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad). (QS: 30). Artinya bagaimana kita membela Islam lihatlah bagaimana Rasulullah.

Dari pelajaran film Fitna, saya memandang ada keharusan mendasar bagi ummat Islam untuk ditindaklanjuti. Pertama, kembali pada ajaran Alquar’an dan Sunnah dengan mengkuatkan ukhuwah Islamiyyah.

Kedua, hendaknya menghindari anarkisme dalam menyelesaikan masalah konflik antar agama maupun intra agama Islam itu sendiri. Pakailah jalan dialog. Kekerasan hanya akan menyebabkan dendam kesumat yang tidak akan ada habisnya. Menyangkut soal Wilder, kalau saya jadi Gus Dur atau Syafii Maarif atau Ulil Abshar, saya akan undang Wilder untuk menjelaskan mengapa dia mempublikasikan film itu dengan jaminan keamanan bagi dia. Bukan dengan cara mencaci atau mengutuknya.

Ketiga, sudah seharusnya ummat Islam menata kembali perwujudan Islam itu sendiri terhadap sesama muslim, dengan menampilkan wajah Islam yang rahmatal lil-alamin.

Saya selalu teringat pak Kyai saya membacakan hadis yang artinya, “Takutlah kamu pada Allah di mana saja kamu berada dan hapuslah perbuatan jelek dengan perbuatan yang baik dan perlakukan manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR Muslim). Dan saya mengajarkan hal yang sama pada murid-murid saya di Pesantren.

Keempat, saatnya Muslim menata diri dari sisi pergaulan dengan non-muslim dengan benar benar membawa akhlaq Islam. Saya resah dalam soal ini karena diakui atau tidak selama ini banyak Muslim yang bertolak belakang dengan agamanya yang dianutnya. Banyak yang teriak membela Islam tetapi sesungguhnya menghancurkan Islam. Hal ini yang sepatutnya selalu kita waspadai dari kehidupan kita sebagai Muslim.

Islam tidak mengajarkan mencaci maki, mengutuk, dan melaknat. Islam tidak mengajarkan kekerasan selama tidak diperlakukan demikian. Oleh karena itu, mari kita ambil pelajan dari peristiwa film Fitna untuk mengambil sisi baik yang patut kita tampikan kepada dunia sebagai jawaban bahwa Islam agama perdamaian bukan Teroris.

Selanjutnya terserah pembaca, jika Muslim itu damai, apa beratnya kita tampikan wajah Islam yang damai dan toleransi pada agama lainnya. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu. Dan Islam pula mengajarkan untuk selalu mengambil pelajaran dari kejadian yang menimpa kita, termasuk dari “Film Fitna”. Bukankah di balik keburukan pasti ada kebaikan? Wallahu ‘alam bishowab. (Dedi Turmudi, Vermont-USA, Observer of Islamic Development Issues/rz).